BPI [38]

1.8K 151 17
                                    

Brak!

Digebraknya meja yang berada tepat di depan Gatan, hingga menimbulkan bunyi nyaring. Dia tak juga mau mengaku, siapa dalang dibalik aksi kejahatannya. Hal ini membuat emosi Harist melonjak seketika.

"Sabar, Dek," ujar Rara menenangkan sang adik.

Dalam hati, sebenarnya Rara juga geram. Namun, marah bukanlah solusi terbaik. Akhirnya dia memilih bersabar. Lambat laun, Gatan pasti akan bersedia jujur kepadanya.

Melihat ke arah jendela, suasana mendung tampak semakin menggelap. Angin juga terasa berhembus kencang. Dingin, menembus kain dan menusuk ke tulangnya.

"Dek, kayanya kakak harus pulang sekarang."

"Baiklah, di luar sepertinya juga mau hujan. Ayo! Aku antar kakak pulang."

"Gak usah. Kakak balik pakai grab aja. Kakak udah pesan lewat aplikasi, kok."

"Loh, kakak kan keluar bareng aku. Masa pulangnya sendirian," protes Harist yang tak setuju dengan ide Rara. Selain itu, dia juga khawatir jika sang kakak pulang sendirian.

"Gak pa-pa. Lagian ini masih sore. Jalanan juga masih ramai."

Saat melihat ke arah dinding sebelahnya, Rara mendapati jam menunjukkan pukul 15.30 wib. Setelah salat Asar, dia segera mengungkapkan niatnya untuk pulang ke rumah. Takut jika terlalu malam, Shaka akan mencarinya. Dia lalu teringat, sejak siang terdapat pesan dan panggilan tak terjawab dari Shaka dan juga bundanya. Rara tak ingin berlama-lama dan membuat mereka khawatir.

"Jemputanku dah dateng. Aku balik dulu ya?!" sekali lagi Rara pamit, walau tampak Harist masih keberatan dengan idenya pulang sendiri.

"Yakin, sendirian?! Aku temani ya," tak putus asa Harist masih menawarkan diri mengantarnya.

"Gak usah. Kamu antar aja Sandy pulang. Kakak bisa pulang sendiri." Akhirnya dengan berat, Harist melepas sang kakak pulang seorang diri.

Saat keluar, gerimis mengiringi langkah kepulangannya. Memakan waktu sekitar 45 menit, mobil yang ditumpanginya sudah masuk ke area perumahan. Sejak di dalam kendaraan, rintik yang semula kecil telah menjelma hujan deras. Kilatan  petir juga sesekali menampakkan cahayanya dan menimbulkan suara cetar yang membahana.

"Yakin, Mbak gak mau pake payung saya dulu?"

"Iya, Pak. Gak usah. Makasih. Itu pintu rumahnya dah keliatan. Tinggal buka gerbang, lari sedikit, sampe deh," tolak Rara dengan halus sambil meletupkan tawa kecil. "Yaudah, makasih, Pak."

"Iya, sama-sama, Mbak."

Setelah saling mengucapkan dan membalas ucapan terima kasih sebagai bentuk keramahan, Rara keluar dari kendaraan roda empat itu. Sebelah tangannya terangkat. Memposisikan tas kulit miliknya di atas kepala, guna sedikit melindungi dari derasnya hujan yang turun membanjiri bumi tempatnya berpijak. Sementara itu, sebelah tangannya mencoba membuka pintu gerbang yang saat ditinggalnya pagi tadi tidak terkunci. Berulangkali Rara mengecek, merasa ada hal yang aneh.

Tergembok? Siapa yang menguncinya? batinnya bertanya-tanya.

Tubuhnya telah basah kuyup. Namun, dia tak juga bisa membuka gerbang rumahnya. Mencoba mengublek-ublek isi tasnya pun percuma. Dia tak lupa, bahwa dirinya memang tak mengunci gembok gerbang saat pergi pagi tadi.

Tergesa, Rara mengambil ponsel yang sudah hampir mati. Daya baterainya hanya tinggal 10%. Selain memencet bel rumah beberapa kali, Rara pun mencoba menghubungi ponsel suaminya. Mungkin Shaka telah pulang ke rumah, begitulah asumsinya saat ini. Dia harap, sebelum ponsel itu mati, Shaka telah mengetahui kepulangannya dan membukakan gerbang untuknya.

Sayang, nihil. Panggilannya tersambung, tapi tak mendapat respon oleh sang pemilik nomor hingga dering berakhir dan ponsel miliknya mati.

"Mas Shaka," teriak Rara semaksimal mungkin sambil sebelah tangannya terus menekan bel rumahnya.

Dari kejauhan Rara melihat, lampu teras yang awalnya mati kini menyala. Menandakan memang ada seseorang di dalam rumah itu. Pintu rumah yang tampak gagah menjulang tinggi berhiaskan ukiran berwarna emas tampak terbuka. Sosok Shaka muncul dari dalam rumah.

"Mas, tolong buka pintunya," kembali Rara berteriak. Raut lega kentara jelas di wajah ayu yang tampak tersenyum tipis di bawah guyuran hujan.

Semenit,
Dua menit,
Tiga menit,

Shaka terus bergeming, tak juga beranjak dari posisinya. Dia hanya berdiri tenang di depan pintu. Tampak enggan membuka gerbang rumahnya, walau manik matanya menangkap sosok Rara yang mungkin menggigil di bawah dinginnya guyuran air dari langit. Tak lama, Shaka justru balik masuk ke dalam dan menutup kembali pintu rumahnya.

"Mas, to ... tolong bu ... ka pintunya. Ma ... af, jika a ... aku ada salah ... ke ... padamu," ucap Rara terbata-bata.

Sudah lebih dari satu jam dia berdiri di bawah derasnya guyuran hujan serta kilatan petir yang menyambar-nyambar. Dingin semakin menusuk ke tulang hingga membuat tubuhnya refleks menggigil. Kakinya tak lagi mampu menopang raganya, membuat Rara terduduk lemas di depan gerbang. Untuk menghalau rasa dinginnya, Rara menekuk kakinya merapat ke tubuh.

"Mas ... to ... tolong bu ... ka. Di sini ... di ... dingin ... banget, Mas," ujar Rara sambil menggigit bibir bawahnya. Merah alami yang biasa menghias di sana, kini telah berubah pucat keunguan.

"Allahu akbar ... Allahu akbar ...." Kumandang azan Magrib menggema.

"Mas ... izin ... kan ... aku masuk ... Mas. Aku mau ... salat."

Hingga berbuih-buih permintaan Rara, tak juga dia mendapatkan respon. Pintu rumahnya masih setia menutup. Shaka masih enggan mengizinkannya berteduh. Hingga, setengah jam setelah kumandang azan terdengar, tampak pintu rumah kembali terbuka. Shaka muncul sambil membawa sebuah payung di tangannya.

Rara yang melihat itu, segera berucap dengan sisa-sisa kekuatannya, "Mas ... maaf. To ... tolong buka ... pin ... tunya."

Rara tersenyum tipis saat melihat Shaka mulai melangkahkan kaki mendekat, mengikis jarak diantara mereka. Mendengar kunci gerbang yang sedang dibuka, Rara berusaha bangkit. Namun, ternyata dia tak sanggup. Dingin dan lemas menguasai tubuhnya. Rasa berat dan pusing pun menghantam kepalanya.

Gerbang terbuka, Shaka berdiri tepat di hadapannya. Sebuah payung melindungi tubuh sejoli itu dari derasnya guyuran air hujan. Rara berusaha tersenyum.

"Mas ... makasih," ujar Rara sambil terus berusaha bangkit.

Dengan mata yang mulai berkunang-kunang dan kesadaran yang mulai terenggut, ditatapnya wajah sang suami. Sayang, tak ada emosi apa pun yang mampu terbaca oleh penglihatannya.

Di tengah kepayahan, Rara terus berusaha. Namun, hasilnya nihil. Saat berusaha bangkit, dia kembali terjatuh. Seulas senyum masih terlukis dari bibir pucat itu hingga akhirnya gelap menguasai. Pingsan, kesadaran tak lagi menguasai raganya.

Melihat pemandangan itu, Shaka menghempaskan payungnya begitu saja. Berlutut, dia mulai menggendong tubuh dingin Rara dalam pelukannya dan membawanya masuk ke dalam rumah. Melewati undakan demi undakan tangga, Shaka membaringkan tubuh Rara di atas ranjang kamar pribadinya.

"Sebagian hatiku senang melihatmu tersiksa. Tapi, sebagian sisi hati yang lain aku tak tahu. Aku bahkan takut menerjemahkan rasa itu, Ra," ucap Shaka sembari mengecup lembut kening Rara yang terasa sedingin es.

.
.

Alhamdulillah, BPI kembali update ... Mumpung Bang Ilham lagi rajin bertandang di pikiran 😅

Silakan yang mau maki-maki Shaka di part ini. Author rela, wkwkwk

Semoga kalian suka,
Semakin rajin kalian vote & komen, semoga update juga semakin lancar yach.

Terima kasih,
Jazakumullah khair 😄😘

Tegal, 19052021

(Bukan) Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang