Koma. Sebuah kondisi di mana kesadaran menghilang dan aktivitas otak berada di titik terendah. Rangsangan sesakit apa pun yang diberikan, tak akan dapat direspon oleh tubuh seorang yang mengalami kondisi ini.
"Jika aku serahkan nyawaku, apa kamu juga tak ingin memaafkanku, Ra. Kembali kepadaku?"
Rara teringat bagaimana dulu Shaka pernah mengucapkan itu saat meminta maaf kepadanya. Ia tak pernah menyangka akan mendapati Shaka mengalami kondisi ini karena dirinya. Setiap hari, Rara tak sekalipun absen untuk mengunjunginya. Setelah pagi tadi ia memberikan keterangan di kantor kepolisian, siang harinya Rara kembali mengunjungi Shaka di rumah sakit.
"Bagaimana kabar Dede Zi?"
"Alhamdulillah baik. Sekarang dia sudah bisa jalan sendiri lho. Zi baru aja sembuh dari sakit batuk, jadi aku tinggal dia sama eyangnya di rumah."
Rara tersenyum sambil mengingat sosok gadis kecil itu. Sudah lama ia tak
Berjumpa dengannya. Apalagi sejak menikah kembali, Nisa bercerita bahwa tak lagi tinggal di kota yang sama. Namun, kebetulan hari ini suaminya mendapat undangan kolega yang ada di Jakarta, sehingga Nisa bisa sekalian datang menjenguk Shaka yang sedang terbaring sakit."Maaf, saat pernikahanmu aku gak bisa datang."
Nisa meraih tangan Rara dalam genggamannya, "Aku yang seharusnya meminta maaf, karena aku lah kalian jadi berpisah."
"Sejak awal pernikahan kami memang sebuah kesalahan. Segala hal yang dilakukan dengan niat yang salah, pasti menemui akhir yang menyakitkan."
"Tapi tetap saja, ada andil diriku juga. Aku benar-benar minta maaf kepadamu, Ra." Setetes air mata mengalir di pipi Nisa. "Sejak awal aku tahu, Shaka mencintaimu dan kedekatan kami hanyalah karena ia ingin melihat rasa cemburumu. Namun, tak ada sedikit pun niat untuk berpisah darimu. Ia tak pernah memandang diriku, seperti saat ia memandangmu, bahkan saat dulu kami pernah begitu dekat. Binar matanya tak pernah seperti itu."
"Semua sudah terjadi. Tak perlu lagi disesali."
Rara terus mencoba tegar. Ia selalu mengingat-ingat setiap bunda memberikan nasihat kepadanya bahwa, "Yang lalu biarlah berlalu, mungkin takdir memang harus berjalan seperti itu. Tapi, setiap kita bisa melakukan hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan merencanakan esok hari lebih baik daripada hari ini. Penyesalan ada untuk dijadikan pembelajaran, lalu bersemangatlah untuk setiap cita-cita masa depan yang kita ingin capai untuk menebus kesalahan di masa lalu."
Jika kemarin Rara sempat terpuruk karena rasa bersalahnya kepada Shaka, maka sekarang ia tak ingin lagi seperti itu. Setiap hari ia datang menemani Shaka di ruangannya dari pagi hingga malam menjelang. Ia tak sendiri, Mama Zaza dan Bunda Milea bergantian menemaninya, sedangkan malam para lelaki yang menjaga Shaka. Lantunan doa dan bacaan ayat suci Al Quran selalu dilisankannya saat berada di dekat Shaka.
"Ra, Mama tinggal ke kantin sebentar ya. Mama pengin coklat panas, kamu mau juga?"
Begitu Nisa dan suaminya pergi, Zaza juga pamit akan ke kantin.
"Boleh, Mah. Apa aku aja yang ke kantin? Mama jaga Mas Shaka aja di sini."
"Jangan! Kamu aja yang jaga Shaka di sini. Mama juga capek, dari tadi cuma duduk aja, pengin jalan-jalan sebentar."
Begitu Zaza pergi, Rara kembali melanjutkan tilawahnya hingga sebuah pergerakan kecil yang ia rasakan membuatnya berhenti. Rara fokus melihat ke jari-jari Shaka, begitu sebuah gerakan kembali terlihat mau tak mau Rara tersenyum senang. Ia segera memanggil dokter dengan alat khusus yang tersedia. Tak butuh waktu lama, seorang dokter dan dua perawat masuk mengecek kondisi Shaka sementara Rara diminta menunggu di luar ruangan.
"Alhamdulillah, Pak Arshaka sudah siuman dari koma. Tapi kondisinya masih sangat lemah. Tubuhnya masih beradaptasi."
Rara segera masuk dan melihat mata yang semula terpejam kini telah terbuka. "Apa yang Mas Shaka rasakan?"
"Haus," ujar Shaka lemah.
Respon yang wajar untuk seseorang yang baru mendapatkan kesadarannya, tenggorokannya pasti merasakan haus karena lama tak teraliri cairan masuk. Rara memberikannya minum secara perlahan.
"Terima kasih." Shaka kembali berbaring sambil memejamkan mata sesaat. Rara sempat melihatnya meringis, mungkin luka di perutnya terasa sakit saat tadi Shaka mencoba bangun.
"Sekarang bagaimana kondisi Mas?"
"Lebih baik, walau aku merasa sangat lemah. Berapa lama aku tak sadarkan diri?" tanya Shaka.
"Mas gak sadar selama lima hari. Kamu sempat koma."
Zaza masuk, menaruh dua cup coklat panas di atas meja kecil, lalu segera menghambur memeluk putranya. Ia begitu senang hingga terharu dan meneteskan air mata bahagia. Rara memberi ruang bagi ibu dan anak untuk bercengkerama. Tak lupa ia memberi kabar kepada sang bunda, bahwa Shaka telah sadar dari koma.
Dua jam kemudian, ruangan itu semakin penuh sesak. Ada Atha, Rayhan, Milea, Jeje dan Maisha yang datang menjenguk. Kabar kesadaran Shaka begitu cepat menyebar dan membuat semua antusias untuk bertemu. Namun, kondisi yang masih lemah membuat Shaka tak banyak berinteraksi. Sekarang pun ia telah memejamkan mata kembali.
Begitu agenda meeting dengan klien usai tepat setelah Ashar, Jeje mengunjungi rumah sakit. Terlepas Shaka telah sadar atau belum, ia memang telah berniat untuk menjenguk. Mumpung tempat meeting-nya dekat dengan tempat Shaka dirawat. "Gue seneng pas lo ngabarin Shaka dah siuman."
"Alhamdulillah, setelah lima hari akhirnya Kak Shaka sadar. Semoga setelah ini kondisinya bisa terus membaik," harap Maisha yang lalu di-amini oleh semua yang mendengar.
"Habis ini mau balik ke klinik atau langsung pulang ke rumah?" tanya Rara sambil menyuapkan sepotong apel ke mulutnya. Maisha pun sedang melakukan hal yang sama, menikmati buah yang Zaza hidangkan untuk camilan.
"Langsung pulang ke rumah. Jam dinasku di klinik dah selesai sejak sore tadi."
"Makasih ya, udah datang menjenguk."
"Sama-sama." Setelah menandaskan minumannya, Maisha pamit pulang. "Aku pulang dulu ya."
Selepas shalat Isya, Milea, Rara, dan Rayhan pamit pulang. Namun, saat mengambil Al Quran miliknya di nakas dekat ranjang tempat Shaka berbaring, Rara merasakan tangannya dicekal.
"Maaf," ujar Shaka lirih. Ia teringat bahwa tak lagi memiliki hubungan apa pun dengan Rara, sehingga segera melepaskan genggamannya. "Besok kau akan datang lagi?"
"Insya Allah. Mas ingin aku bawakan sesuatu?"
"Aku pengin bubur buatanmu. Apa boleh?"
Rara tersenyum sambil mengangguk. "Besok aku bawain ya. Sekarang aku pamit pulang dulu. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Shaka menyunggingkan senyum tipis. Ia tak sabar menunggu esok pagi.
.
.Alhamdulillah, BPI update 😁
Semoga mengobati rasa rindu kalian
Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan komentar.Maaf untuk typo
&
Terima kasih,
Jazakumullah khairan katsir
💜
💜
💜Tegal, 130222
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Pernikahan Impian
Romance"Menikahimu adalah mimpiku sejak dulu. Saat mimpi menjelma nyata, ternyata bukan surga yang kupijak, tetapi laksana neraka yang aku masuki." (Azzahra Putri Adhiatama) "Terkadang kita salah menerjemahkan sebuah rasa, karena begitu tipis batas antara...