Tamu wajib untuk dimuliakan, itulah ajaran terbaik yang pernah Rara terima dari sang Bunda. Begitu juga dalam ajaran agamanya, telah ada aturan tentang adab bertamu dan memuliakan tamu serta tetangga.
Sepeninggal Maisha dari restoran, nyatanya Rara belum bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya. Seseorang berkunjung dan memberinya undangan pernikahan.
"Kapan acaranya, Kak?"
"InsyaAllah pekan depan."
"Baiklah, insyaAllah aku akan datang bersama Mas Shaka."
"Seharusnya aku meyerahkan undangan ini langsung pada Om Rayhan. Tapi, sepertinya beliau sedang sibuk di luar kota. Jadi, sebaiknya aku titipkan ini kepadamu," ucap Yusuf sambil menyodorkan kembali undangan atas nama Rayhan Adhiatama.
"Iya, Ayah dan Bunda sedang ke Medan. Ada saudara Bunda yang sedang sakit. Nanti aku sampaikan undangan ini ke Ayah."
Yusuf mengangguk, lalu tampak menyesap latte miliknya sambil memandang ke arah jendela. Rintik air yang semula gerimis kini menjadi hujan besar, membuat udara di sekitarnya menjadi lebih dingin.
"Yumna, adik Kak Yusuf saja dah mau menikah. Lalu, Kakak kapan?"
Yusuf tertawa kecil mendengar pertnyaan itu. "Aku sedang menunggu waktu yang tepat untuk membawa mempelaiku pergi ke KUA."
"Waah, berarti dah ada calon ya, Kak? Selamat ya. Lain waktu kenalkan aku dengannya."
"Tentu, kamu akan mengenalnya. Nanti, saat waktunya tepat."
Di tengah perbincangan, Rara merasakan ponselnya bergetar. Ternyata Harist meneleponnya.
"Kak, maaf. Harist telepon, aku izin angkat dulu."
"Silakan."
Rara menekan simbol telepon hijau yang tampak di layar persegi itu.
"Assalamu'alaikum."
"...."
"Baiklah, Kakak percayakan semuanya sama kamu. Tolong jangan sakiti dia. Setelah itu, kabari Kakak. Kakak ingin bicara dan menanyakan beberapa hal pada Harjo."
"...."
"Terserah kamu saja. Makasih, Dek. Kamu emang selalu bisa Kak Rara andalkan. Assalamu'alaikum."
Panggilan terputus. Masih ada waktu beberapa jam lagi sebelum dia menemui sang preman yang akan dijebaknya bersama Harist.
"Maaf jadi mendengar percakapanmu dengan Harist. Siapa itu Harjo, Ra?" tanya Yusuf.
"Ow ... dia salah satu preman yang malam itu menggangguku."
"Maksudmu, saat Syilla terbunuh?"
"Hm ... beberapa hari yang lalu aku mengenalinya di dekat area panti asuhan. Aku minta Harist untuk menyelidikinya dan menjebaknya. Aku merasa malam itu mereka memang sengaja menjebak Syilla. Aku ingin tau, siapa dalang di balik tindakan mereka."
Yusuf mendengarkannya dengan seksama. Tampak serius menyimak rencana yang akan Rara lakukan bersama sang adik.
"Semoga berhasil."
"Amin, makasih."
"Yaudah, aku pamit balik ke kantor lagi."
"Baiklah, hati-hati, Kak Yusuf."
* * *
Sesempurna apa pun rencana manusia, selalu ada takdir Tuhan yang lebih berkuasa. Harist tak habis pikir, bagaimana mungkin di saat-saat terakhir menuju penjebakannya, Harjo justru mengalami kecelakaan parah hingga merenggut nyawanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Pernikahan Impian
Romance"Menikahimu adalah mimpiku sejak dulu. Saat mimpi menjelma nyata, ternyata bukan surga yang kupijak, tetapi laksana neraka yang aku masuki." (Azzahra Putri Adhiatama) "Terkadang kita salah menerjemahkan sebuah rasa, karena begitu tipis batas antara...