BPI [14]

1.6K 108 11
                                    

Pernikahan merupakan peristiwa sakral yang tuntunannya adalah agama, ijabnya dengan asma Allah, diakui resmi oleh negara dengan catatan buku nikah serta doanya diamini oleh malaikat, keluarga dan masyarakat. Tali ikatan ini begitu kuat, hingga sanggup menghalalkan sesuatu yang dahulunya haram menjadi halal. Ibadah penuh kenikmatan, tetapi juga butuh kesabaran untuk menjaganya.

Semakin mendekatnya hari sakral itu, membuat Rara justru semakin gelisah. Jika awalnya dia sangat bahagia, entah kenapa kini dia justru merasa takut.

"Bun, kok aku ngerasa takut ya?" tanya Rara pada Milea saat mereka sedang berada di kebun samping rumah.

Rara baru saja selesai menyirami tanaman bunga dan sayuran yang tumbuh di sana, sedangkan Milea baru saja selesai memetik lima tangkai bunga matahari yang tumbuh merekah indah. Setelah dipetik dan disesuaikan panjang tangkainya, bunga itu lalu ditaruhnya ke dalam sebuah vas berisi air dan nantinya akan diletakkan di ruang keluarga sebagai pemanis pemandangan.

"Takut kenapa, Sayang? Coba cerita sama bunda," pinta Milea setelah Rara duduk disampingnya. Mereka duduk di kursi rotan yang sengaja ditaruh di sana untuk bersantai sambil memandangi asrinya kebun dan menikmati gemericik air dari kolam ikan kecil.

"Enggak tahu, Bun. Rasanya takut aja. Aku takut kalau nggak bisa jadi istri yang baik untuk Kak Shaka. Aku juga takut nantinya akan mengecewakan Bunda dan Ayah."

Milea lalu menggenggam tangan putrinya di atas meja. Sambil tersenyum dia berkata, "Dulu Bunda juga seperti kamu, pernah merasa takut. Takut setelah menikah Ayah akan kecewa, lalu berpaling kepada wanita lain yang lebih cantik dan menarik dari Bunda. Apalagi dulu kan Ayah pilot, dia punya banyak teman pramugari berparas cantik. Lalu bunda sadar, ini hanya kecemasan semata, yang belun tentu terjadi. Ini hanya bisikan jahat syaitan yang tidak suka jika ada seseorang yang ingin menyempurnakan ibadahnya lalu menumbuhkan keragu-raguan di hatinya."

Milea menjeda ucapannya, lalu menatap tepat ke netra coklat Rara.

"Kamu tahu apa yang pernah ayah bilang saat itu pada bunda?"

Rara menggelengkan kepalanya, "Apa yang ayah katakan, Bun?"

Milea memandang ke arah kebun, matanya seolah menerawang menuju masa lalu.

"Ayah berkata, kamu harus percaya sama Mas. Kalau Mas mau, dari dulu Mas sudah menikah dengan salah satu dari pramugari itu, tetapi buktinya, Mas malah pilih kamu kan? Mungkin Mas bisa tersenyum kepada semua wanita, itu hanya sebagai bentuk keramahan. Tetapi hati Mas, sepenuhnya sudah milik kamu. Kamu bisa pegang ucapan mas."

"Ayah bilang begitu? Apa dulu bunda begitu pencemburu?"

Milea tertawa mendengar pertanyaan Rara.

"Gimana bunda nggak cemburu? Ayahmu tampan begitu. Teman perempuannya juga cantik-cantik, dari pramugari, model sampai artis dia kenal."

Rara mengangguk sambil tersenyum. Ayahnya memang tampan, bahkan diusianya yang sekarang ketampanan itu masih jelas terlihat di wajahnya. Di restoran, sering ada klien wanita genit, yang mencoba merayu ayahnya. Namun, selalu dia tepis. Ayahnya tipe laki-laki setia yang tidak akan mudah tergoda.

Dia juga tahu betul koneksi ayahnya begitu luas, hingga restoran mereka rasanya tidak pernah sepi dari event besar setiap bulannya. Ada saja artis, pejabat atau pengusaha yang menggunakan jasa dan properti mereka untuk menyelenggarakan acara. Namun, Rara juga tahu pasti ayahnya sangat mencintai bundanya. Tidak pernah sedikitpun ayahnya berlaku kasar atapun berbicara keras kepada bunda, matanya juga selalu memandang bunda dengan penuh cinta.

"Pernikahan itu bukan jalan lurus tanpa persimpangan atau kelokan. Saat menjalaninya akan ada tawa, canda, keraguan bahkan air mata. Namun, satu yang harus kamu ingat, ada Tuhan tempatmu meminta dan berharap. Berdoalah agar hatimu senantiasa dibimbing dalam kebaikan dan rumah tanggamu senantiasa diliputi keberkahan."

(Bukan) Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang