BPI [32-a]

1.8K 142 14
                                    

~ Jika cemburu adalah isyarat cinta dalam hati, maka aku mengizinkamu merasakannya. ~

- o0o -

"Cieee yang dapat bunga. Pasti dari Kak Shaka, ya?" goda Maisha saat masuk ke ruangan Rara dan mendapati sebuket bunga mawar merah di atas mejanya.

"Bukan," jawab Rara sendu.

"Loh, bukan dari Kak Shaka? Terus dari siapa tuh bunga?" Reflek tangan Maisha meraih seonggok bunga cantik yang tergeletak. Matanya menelusuri setiap huruf yang tertulis di kartu ucapan.

~ Tersenyumlah, agar hatimu selalu bahagia. ~

Tidak ada nama pengirimnya, batin Maisha.

"Waaah dari penggemar rahasia, nih."

Rara hanya mengedikkan bahu, merasa tak tahu harus menjawab apa. Wanita biasa sepertinya apalagi sudah menjadi istri orang, merasa tak perlu memiliki penggemar rahasia. Dia sudah menjadi milik suaminya. Jadi, bodoh jika ada yang masih mengharapkannya.

"Terus mau diapain nih bunga?" tanya Maisha sambil menghirup wanginya.

"Dibuang mungkin."

"Jangan. Mubazir, cantik begini. Dipajang aja."

"Gak ah, entar yang ngirim berharap lebih. Dikiranya aku wanita gampangan yang bisa nerima apa pun dari orang asing."

"Jangan dipajang di sini. Di bawah aja, di bagian kasir atau pojok meja resto. Lumayan buat perindah ruangan."

"Terserah, deh. Kamu yang kasih sama pelayan ya."

"Oke, siap. Aku bawa ini ke bawah dulu ya."

Sepeninggal Maisha, Rara mencoba mengingat-ingat, tulisan tangan milik siapakah yang tertera di kartu ucapan itu. Entahlah, hal-hal tak penting seperti ini sebaiknya tak perlu terlalu dipikirkan, batin Rara.

Sebuah notifikasi pesan, masuk ke ponselnya.

Harist
[Kak, aku dah dapat identitas lengkap pengendara motor itu. Sesuai dengan sosok yang terlihat di CCTV. Aku kirim datanya ke email Kakak.]

Tak membutuhkan waktu lama, segera dibukanya email dari sang adik. Besok pagi, dia akan segera menemui lelaki itu, tekadnya.

* * *

"Apa benar ini rumah Pak Harjo?" tanya Rara kepada seorang wanita yang kulitnya telah keriput dimakan usia.

"Iya, Nduk. Harjo anak sulung Ibu. Ada keperluan apa ya?" jawabnya sambil tersenyum ramah.

Melihat tubuh ringkih, yang bahkan sulit berdiri tegak tanpa bantuan tongkat penyangga, membuat hatinya trenyuh. Rasanya tak tega untuk bibir itu melisankan tuduhan bahwa sang anak sulung tercinta adalah bagian dari komplotan preman yang telah menghilangkan nyawa manusia tak berdosa. Tak sampai hati, Rara menyampaikan kebenaran itu.

"Saya kenal Pak Harjo beberapa waktu lalu. Dan, ada urusan di antara kami yang belum selesai, Bu," ucap Rara berusaha menjaga duka agar tak singgah di hati tulus seorang ibu. Biarlah hal ini menjadi urusannya dengan sang anak, Harjo.

(Bukan) Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang