Shaka benci saat dia terlihat lemah. Sudah sejak tadi, dirinya menahan hasrat untuk mengosongkan kandung kemih. Namun, fisiknya seolah tak mau mendukung. Raganya seakan-akan bersekongkol mempermalukannya.
Shaka merasa lemah. Saat hendak beranjak duduk saja, dia kesulitan. Merasa lemas dan kepalanya seperti berputar. Lambungnya juga terasa perih. Membuat Shaka nenghela napas berat dan sesekali memejamkan mata guna menahan rasa sakit. Namun, gengsinya terlalu besar untuk meminta tolong kepada Rara. Lagipula dia sangsi, tidakkah tubuh Rara terlalu kecil untuk menahan bobot tubuhnya yang berat?
Suara pintu terbuka mengalihkan perhatiannya. Dari arah luar, Rara masuk sambil membawa dus yang entah apa isinya. Saat sedang memperhatikan, tiba-tiba Rara menoleh. Netra keduanya saling berserobok.
"Maaf, aku harus menaruh sebagian perlengkapanku di kamarmu."
Shaka masih terdiam. Menunggu penjelasan detail yang sebentar lagi akan mengalir dari bibir istrinya.
"Arkan tahu kita tidak tidur sekamar."
Terkejut. Dari mana dia tahu? Rara kah yang sengaja memberitahu? Penjelasan Rara memunculkan banyak pertanyaan dalam benaknya.
"Saat tadi datang menjenguk, dia sudah curiga. Tak ditemukan peralatan wanita seperti make up yang ditemukan di sini. Tanpa sepengetahuanku, dia juga mengecek isi lemarimu. Tak ada sehelai pun pakaianku di dalamnya."
Shaka kembali memejamkan mata. Jika Arkan sudah tahu, maka tak lama lagi satu per satu anggota keluarga lainnya pasti juga akan tahu. Dia hanya berharap, semoga adiknya tak gegabah dengan menceritakan rahasia kelam pernikahannya yang selama ini sengaja disembunyikan.
"Arkan berjanji tak akan bilang hal ini kepada siapapun. Maka dari itu, aku membawa sebagian perlengkapan pribadiku kemari. Jaga-jaga jika ada anggota keluarga lain yang datang menjengukmu."
Usai mengucap itu, Rara menata sebagian make up-nya di atas meja rias. Dia juga menaruh vas berisi bunga untuk meninggalkan kesan sentuhan wanita di kamar itu.
Merasa tak perlu lagi mendapatkan izin, Rara juga menaruh tiga stel pakaiannya di lemari Shaka. Berjaga-jaga lebih baik. Dia tak ingin keluarganya tahu dan bersedih karenanya.
Sejak kecil Rara merasa dirinya kerap merepotkan orang-orang di sekitarnya. Menanggung hidupnya yang tak lagi memiliki orang tua, serta harus mengobati traumanya dalam waktu yang tidak sebentar. Jejak kesedihan yang telah dibuatnya sudah terlampau banyak.
Sepeninggal Rara, Shaka berusaha bangun. Menapakkan kakinya di lantai kamar. Berhasil. Namun, tak lama kepalanya justru terasa berputar. Tubuh itu limbung, jatuh ke lantai.
Bugh!
Suara keras yang terdengar dari arah kamar Shaka, membuat Rara terkejut. Langkah kakinya yang hendak menapaki lima undakan lagi menuju bawah, segera berbalik arah. Namun, naas. Kepanikan yang tiba-tiba menyergap, membuat Rara kehilangan keseimbangan. Kakinya tergelincir saat hendak berlari ke atas. Tubuhnya terjungkal. Berguling jatuh melewati beberapa undakan tangga.
Sakit menghujam di tubuh Rara, terutama pada bagian pinggangnya. Belum lagi pusing akibat kepala yang terbentur beberapa kali pada kerasnya partikel beton dengan parket kayu sebagai pelapisnya. Rara merintih. Namun, saat mengingat Shaka, dia berusaha bangkit dan menghalau rasa sakit di tubuhnya.
Kali ini walau berusaha berjalan cepat, tapi Rara lebih berhati-hati. Sesampainya di dalam kamar, dia terkejut. Didapatinya raga sang suami terjatuh di lantai.
"M-mas Shaka?!"
Sambil memegangi area pinggang yang seperti hendak patah, Rara bersegera menjangkau suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Pernikahan Impian
Romance"Menikahimu adalah mimpiku sejak dulu. Saat mimpi menjelma nyata, ternyata bukan surga yang kupijak, tetapi laksana neraka yang aku masuki." (Azzahra Putri Adhiatama) "Terkadang kita salah menerjemahkan sebuah rasa, karena begitu tipis batas antara...