Panas siang ini, terasa terik menyengat. Rara yang sejak tadi berada di depan kompor, semakin merasakan bulir peluhnya mulai membasahi kening, leher hingga ke punggungnya.
Begitu kue pie strawberry-nya matang, segera Rara mencicipinya. Menikmati rasa manis, gurih dan sedikit asam segar, khas cita rasa strawberry yang terlumat nikmat di lidahnya.
Rara segera menyusun kue tersebut ke dalam dus. Ditatanya secantik mungkin, agar juga terlihat sedap dipandang mata. Rencananya dia akan mengirimkannya ke rumah mama Zaza.
Setelah lima hari dirawat, pagi tadi Shaka sudah diperbolehkan untuk pulang. Setelah Ashar nanti, bunda dan ayah akan menjenguk ke sana. Lalu bagaimana dengan dirinya? Sayangnya, Rara tidak diperbolehkan ikut. Dia sedang menjalani adat pingitan pengantin sebelum acara pernikahan.
Menurut adat Jawa, dia dan Shaka tidak diperbolehkan bertemu selama seminggu. Salah satu tujuan dilakukan adat ini agar terpupuk rindu di antara kedua calon pengantin, dan benar saat ini Rara sedang bersabar menahan rindu yang mulai menyelimuti hatinya.
Rara tersenyum saat melihat seluruh pie buatannya telah selesai disusunnya ke dalam dus. Ditutupnya dus itu dan diberi hiasan pita kertas di atasnya, untuk mempercantik. Selain pie strawberry, Rara juga membuatkan puding aneka buah. Kue-kue itu akan dibawa bunda saat mengunjungi rumah kediaman calon menantunya.
"Waaah ... cantik banget pie-nya, Sayang. Bunda jadi nggak tega buat makannya," ucap Milea saat Rara membawakan sepiring pie yang sengaja disisihkannya untuk penghuni rumah.
"Bukan cuma tampilannya aja yang cantik, rasanya juga lezat loh, Bun. Jadi, harus dimakan biar Bunda bisa mencicipi kelezatannya," rayu Rara sambil memotong sedikit bagian pie, lalu disuapkannya kepada sang bunda.
Milea tampak mengunyahnya sambil memejamkan mata, seolah sedang meresapi rasa nikmat kue buatan putrinya. "Benar, Sayang. Selain cantik, kue ini juga sangat lezat. Bunda yakin, calon menantu dan besan Bunda akan terkesan saat menerimanya."
Kulit wajah Rara yang seputih susu, kini memerah dibuatnya. Dia mudah malu saat disanjung oleh siapa pun, termasuk oleh bundanya sendiri.
Ucapan Milea terbukti benar. Saat sore hari Milea dan Rayhan menjenguk Shaka sambil membawa kue buatan Rara, mereka semua mengakui kelezatan rasanya.
Cukup lama Milea dan Rayhan berkunjung ke sana. Banyak yang mereka bicarakan, terutama tentang acara pernikahan Shaka dengan Rara. Selain itu juga tentang kondisi kesehatan Shaka. Shaka memang sudah diperbolehkan pulang, tapi dia masih harus melakukan check up rutin. Patah tulang rusuk membutuhkan waktu pemulihan sekitar satu sampai dua bulan, tergantung seberapa keparahannya dan kondisi tubuh pasien tersebut.
Selesai salat magrib berjamaah, barulah Milea dan Rayhan pulang. Mereka menolak secara halus ajakan makan malam di rumah calon besannya, karena Rara sudah menyiapkan makan malam untuk mereka di rumah.
"Lagi ngapain, Ka? Ini udah malam, masuk ke kamar aja. Udara di luar dingin loh, kamu juga kan baru sembuh," tanya Zaza saat mendapati Shaka sedang merebahkan dirinya di kursi santai kolam renang.
Mendengar suara khas mama tersayang, Shaka menoleh sambil tersenyum. Sejak tadi pikirannya yang sibuk berkelana, membuat Shaka tidak menyadari bahwa mamanya kini sedang duduk menghadapnya.
Entah sudah berapa lama Zaza hanya duduk sambil memandang putranya yang tampak asyik dengan dunianya sendiri. Shaka tipe orang yang aktif, sibuk dengan seabrek pekerjaannya. Ini kali pertama dia mendapati putranya termenung.
"Shaka bosen di kamar terus, Mah. Lebih nyaman rebahan di sini sambil liat pemandangan langit malam."
"Masa sih? Bukannya tadi lagi ngelamun ya? Sampai-sampai mama sudah di sini dari tadi aja, kamu nggak tahu." Zaza menjeda ucapannya sambil tersenyum menggoda. "Lagi kangen ya sama seseorang? Kayanya mama tahu siapa orang yang selalu dikangenin itu." Kini senyuman Zaza berubah menjadi tawa. Dia senang bisa menggoda putranya sulungnya ini. Jarang-jarang Shaka bisa digoda seperti ini. Hidupnya selama ini terlalu banyak seriusnya karena tuntutan pekerjaan.
Shaka sangat menyayangi papanya, tetapi dia menolak untuk mengikuti jejak sang papa berkecimpung dalam dunia kedokteran. Shaka lebih memilih mendalami hobi menggambarnya dengan serius, hingga kini akhirnya dia dapat menjadi seorang arsitek yang namanya mulai terkenal di jejeran para pebisnis. Buah kreativitas dan imajinasinya berdiri kokoh menancap ke dasar bumi. Shaka selalu bisa membuat Zaza merasa bangga.
"Ma, kangen nggak sama Syilla?" Saat mengingat Rara, dia pasti juga mengingat Syilla. Dia tak menyangka, akan melangkah sejauh ini. Mungkinkah hubungannya dengan Rara akan sampai ke tahap ini jika Syilla masih hidup sekarang? Entahlah, Shaka tak bisa menerkanya.
"Kangen. Kalau lagi kangen, mama hanya bisa berdoa untuknya, semoga kelak kita bisa kumpul di surga bersama-sama."
"Apa mama pernah menyesali kematian Syilla? Dan ingin menyalahkan seseorang atas kematiannya?" tanya Shaka penasaran.
Dia heran bagaimana dengan mudah kedua orang tuanya menerima kematian Syilla dan tidak menyalahkan Rara. Padahal selama ini Shaka begitu membencinya.
"Hidup dan mati itu kuasa Tuhan. Tidak akan maju ataupun mundur walau sedetik. Jadi, mama hanya bisa berusaha ikhlas. Walaupun kata ikhlas tidak semudah diucapkan lidah, tapi kita harus berusaha. Jika ada yang harus disalahkan, ya ... para pembunuh itu. Tapi ternyata sampai sekarang mereka belum tertangkap. Mama hanya berharap kalaupun tidak di sel penjara, mereka akan mendapat hukuman setimpal di kehidupannya. Entah itu dalam bentuk apa. Jahat memang harapan mama ini. Tapi, inilah hati seorang ibu yang terluka karena seperti dipaksa berpisah dari belahan hatinya."
Shaka mengamati setiap perubahan raut wajah sang mama saat berbicara tadi. Walau ada kesedihan yang jelas terpancar dari sorot mata jernih itu, tapi binar keikhlasan juga turut menyertainya.
"Lagi pula sebentar lagi mama juga akan mendapat seorang putri lagi, Rara. Setelah menikah, cepat-cepat kalian buat cucu untuk mama ya?! Mama nggak sabar pengin lihat Shaka versi junior," lanjut Zaza sambil tertawa. Terdengar pancaran harapan dari ucapan mamanya tadi.
Shaka merasa bimbang. Apakah tindakannya benar atau salah? Tapi dia masih meyakini, penyebab utama tragedi berdarah itu adalah karena Rara. Karena Rara berulang tahun pada malam itu. Rara yang tidak bisa menjaga Syilla, saat dirinya sedang berkelahi dengan para preman. Shaka mengerang pelan, tangannya mengepal keras, dia masih merasa sakit dan gagal sebagai kakak, saat mengingat kejadian itu.
"Kita masuk, yuk! Istirahat di kamar aja, atau mau mama temani?" tanya Zaza untuk membujuk Shaka. Dia masih khawatir dengan kesehatan putranya.
"Nggak usah, aku masuk sendiri. Makasih, Mah."
"Sama-sama, Sayang. Sebentar lagi papa pulang, mama mau menghangatkan makan malam untuk papamu dulu."
Zaza pergi menuju ke dalam rumah, tepatnya ke area dapur. Setelah salat Isya, terdapat panggilan darurat dari rumah sakit, sehingga Atha bergegas pergi ke sana sebelum dia menikmati makan malamnya.
Tidak lama setelah Zaza pergi, Shaka pun ikut masuk ke dalam rumah. Dia langsung menuju ke kamarnya. Mengambil macbook-nya dan mengecek beberapa pekerjaan yang sempat terbengkalai karena insiden kecelakaan itu.
Entah kenapa dia merasa ada orang yang sengaja menyabotase mobilnya. Menggembosi bannya dan membuatnya menggunakan mobil kantor yang sudah dirusak piston remnya sehingga membuat remnya blong.
Siapa orang yang ingin mencelakaiku? Apakah motifnya karena persaingan kerja atau memang ada hal lainnya? Entahlah, dia akan mencari tahu. Tekad Shaka di hatinya.
.
.Alhamdulillah, BPI kembali update 😄😄
Tapi maaf,, mungkin setelah ini akan hiatus cukup lama,, sekitar satu bulan (semoga kurang dari sebulan)
Author lagi ada proyek harus menulis naskah setiap hari di platform hijau (KBM)
Jadi, maaf ... sementara belum bisa update di WP 😢
Barangkali kalian ada yang mau mampir di sana, boleh banget. KBM @Oliphiana Cubbytaa
Insya Allah akan ada kisah cinta beda agama antara atasan dan sekretarisnya 🙈
"Muara Cinta Dua Keyakinan"Jangan lupa tinggalkan jejak
Vote & KomentarTerima Kasih Readers Setiaku
😍😙😘
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Pernikahan Impian
Romance"Menikahimu adalah mimpiku sejak dulu. Saat mimpi menjelma nyata, ternyata bukan surga yang kupijak, tetapi laksana neraka yang aku masuki." (Azzahra Putri Adhiatama) "Terkadang kita salah menerjemahkan sebuah rasa, karena begitu tipis batas antara...