BPI [18]

1.6K 138 9
                                    

Langit semakin menggelap, kabut tipis menutup pantulan sinar rembulan. Gedung tempat dilangsungkannya resepsi pernikahan Shaka dan Rara semakin ramai oleh tamu yang hadir memenuhi undangan sang tuan rumah. Senyum kebahagiaan, tak lepas menghiasi wajah kedua mempelai dan keluarganya. Ucapan selamat dan doa kebaikan juga mengalir bagi keduanya.

Kondisi Shaka yang belum sepenuhnya pulih, membuatnya tidak bisa mengikuti acara hingga usai. Hanya kedua orang tua pengantin, yang akan berada di sana hingga acara selesai. Pukul 22.00 WIB, Shaka dan Rara pulang ke rumah keluarga Shaka. Beberapa hari ke depan, mereka masih harus tinggal di sana atas permintaan mama Zaza. Baru setelahnya akan pindah ke rumah yang telah dipersiapkan Shaka untuk mereka tinggali setelah menikah.

"Kak, ini obatnya, diminum dulu ya!" Rara menyerahkan obat yang masih rutin diminum Shaka.

Saat ini mereka sedang berada di kamar Shaka. Kamar yang telah dihias khas kamar pengantin. Walaupun begitu, harum khas parfum Shaka masih tertinggal di sana. Apalagi saat Rara berada di dekat laki-laki yang beberapa jam lalu resmi manyandang gelar suaminya.

"Makasih, Ra." Shaka mengambil obat itu lalu segera meminumnya.

"Kak, aku izin lepas jilbab ya."

Saat ini Rara memang masih memakai kebaya lengkap. Begitu sampai di rumah, dia segera melayani Shaka. Menyiapkan obat dan camilan buah untuk suaminya. Saat di mobil, Rara melihat suaminya tampak menahan sakit, luka di area rusuk Shaka memang belum sepenuhnya pulih. Berdiri cukup lama di atas panggung, sepertinya membuatnya merasa kurang nyaman. Hal itu membuat Rara merasa cemas.

"Ehem!" Shaka berdehem, ditanya seperti itu membuatnya justru merasa aneh. "Silakan, Ra!"

Sebenarnya tidak perlu izin Shaka, untuk Rara membuka jilbab yang selama ini dipakai melindungi surai hitam miliknya, dari semua orang yang bukan muhrim baginya. Toh, Shaka kini berhak atas seluruh tubuhnya. Namun, entah kenapa berada di tempat baru, membuat Rara merasa perlu izin untuk apa pun yang akan dilakukannya kepada sang pemiliknya.

Dengan canggung, Rara mendudukkan diri di depan meja rias. Perlahan melepas satu persatu aksesoris yang melekat pada tubuhnya lalu mulai membuka jilbab yang dipakainya. Rara belum berani memandang ke arah Shaka, dia takut melihat reaksi Shaka saat melihatnya pertama kali tanpa berjilbab.

Rara lalu membuka koper miliknya, mengambil handuk dan baju dari dalam sana. Dia segera masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.

Shaka memperhatikan setiap gerakan istrinya yang terlihat masih canggung. Bahkan pandangannya tak ingin lepas hingga tubuh Rara menghilang dibalik pintu kamar mandi.

Cantik...
Refleks Shaka bergumam pelan. Setiap laki-laki normal, saat melihat sosok yang kini menjadi istrinya pasti akan berkata itu. Apalagi saat jilbab penutup itu terbuka, surai hitamnya semakin terlihat menyempurnakan kecantikkannya. Entah kenapa, Shaka merasa sangat bahagia akan menjadi laki-laki pertama yang melihat keindahan dibalik setiap helai kain tipis itu.

Sebentuk senyuman terlukis di wajahnya. Dia merasa beruntung akan menjadi yang pertama menyentuh kulit seputih susu yang tampak begitu halus. Menjelang pernikahan mereka, pastilah Rara telah melakukan perawatan pada semua titik di bagian tubuhnya.

Shitt! Apa yang kamu pikirkan, Ka? Dia adalah penyebab terbunuhnya Syilla.

Shaka menghembuskan napas kasar, kedua tangannya mengepal, meremas seprei ranjang pengantinnya. Mata yang sempat menggelap karena hasrat jiwa lelakinya kini berubah menajam. Seolah elang yang siap memburu mangsanya.

Shaka kembali membangun dinding pembatas di hatinya, agar tidak lagi mudah terpedaya oleh sosok indah yang seharusnya dia benci. Cukup pandangan pertamanya tadi yang melenakan, setelahnya dia merasa tidak boleh lengah kembali.

Shaka melepas kemejanya dan meninggalkan kaos lengan pendek putih saja yang melekat ditubuhnya. Dia berbaring di atas ranjang, memejamkan mata sambil memijat pelipisnya pelan. Hingga tak lama, terdengar suara Rara keluar dari dalam kamar mandi.

Harum sabun dan sampo milik Rara, menyapa indra penciuman Shaka. Dia menoleh, mendapati Rara kini terlihat lebih segar setelah mandi. Riasan di wajahnya sudah tidak ada, tapi justru kecantikannya yang alami terpancar dari wajah polos itu.

"Kakak mau mandi?" tanya Rara begitu sampai di dekatnya.

"Iya," jawab Shaka singkat sambil berdiri dari posisinya, mengambil handuk dan pakaian bersih dari dalam lemari.

Rara memperhatikannya, melihat di mana posisi barang-barang yang Shaka ambil. Dia belum berani membuka lemari pribadi itu. Pakaiannya sendiri, juga masih berada di dalam koper.

Sambil menunggu Shaka selesai, Rara mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. Rasa canggung menyergapnya seketika, akankah malam ini dia dan Shaka melakukan ritual malam pengantin mereka? Selintas pertanyaan menggelitik hatinya. Meninggalkan sedikit rona merah di wajahnya.

Derit pintu kamar mandi yang terbuka memecahkan lamunannya. Terlihat Shaka berjalan mendekat ke arahnya sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil yang terkalung di lehernya.

"Mau aku bantu mengeringkan rambutnya, Kak?" tawar Rara.

"Boleh."

Shaka duduk di tepi ranjang dan Rara mulai membelai rambut hitam suaminya. Mengeringkannya dengan bantuan hair dryer yang tadi sempat dipakainya.

"Habis ini kita langsung istirahat aja ya, nggak pa-pa?" tanya Shaka seusai dikeringkan rambutnya, lalu membaringkan tubuhnya di atas ranjang.

"Iya, nggak pa-pa. Selamat istirahat, Kak Shaka."

Rara ikut membaringkan tubuhnya di samping Shaka. Entahlah, rasanya begitu canggung baginya. Dia tak pandai memulai pembicaraan. Shaka pun tampak lelah, matanya juga telah terpejam. Mungkin juga efek obat yang barusan diminumnya. Rara tak sedikit pun kecewa. Baginya kesehatan Shaka lebih penting dari ritual penyatuan dua raga di malam pengantin mereka.

Rara ikut berbaring sambil memandangi wajah tampan suaminya. Dia tersenyum, mulai malam ini wajah itulah yang pertama akan dilihatnya saat membuka mata dan akan dipandangnya sebelum memejamkan mata di malam hari.

Mimpi indah, my love, ucap Rara berbisik, lalu dia mulai ikut memejamkan matanya. Tidak lupa dilafazkannya pula doa sebelum tidur di dalam hati.

Shaka membuka mata, saat dirasa Rara sudah terlelap dalam tidurnya. Dia memandang wajah itu datar tanpa ekspresi, dan bertanya dalam hati, Kenapa harus kamu, Ra? Kenapa harus kamu yang menyebabkan Syilla meninggal?

.
.

Alhamdulillah,
BPI update nich 😄

Gimana untuk Bab ini,
kalian suka?

Tinggalkan jejak kehadiran kalian dengan follow, vote & komentar yach 😍

😀 Terima kasih 😀

Tegal, 11012021

(Bukan) Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang