BPI [32-b]

1.8K 153 11
                                    

Jika marah dan posisimu berdiri, maka duduklah. Jika posisimu sedang duduk maka berbaringlah. Jika berbaring, belum juga meredakan amarahmu, maka berwudhulah atau bahkan mandi.

Amarah ibarat api, maka air merupakan zat sepadan yang mampu meredam kobarannya. Itulah ajaran dalam Islam. Inginnya Rara berceramah tentang itu, tapi apalah daya. Nyalinya tidak sebesar itu untuk menasihati sang suami.

"Jadi, siapa laki-laki itu?"

Rara bergeming, tak tahu harus menjawab apa. Dia juga tak mengetahui siapa pengagum rahasianya. Dia pun masih terkejut, bukan hanya ke restoran bunga-bunga itu dikirim. Kini, sang secret admirer seolah lantang mengibarkan bendera perang dengan suaminya hingga berani mengirim bunga-bunga itu ke rumah.

"Jawab saya, Ra! Jangan hanya diam saja," bentak Shaka sambil mendorong tubuh Rara merapat ke tembok. Shaka merapatkan jarak di antara mereka untuk mengintimidasi.

Rara yang tak siap dengan perlakuan itu, nyaris terhuyung jatuh. Namun, sebelah tangan sang suami merengkuhnya agar tak terjatuh. Rasa cemas dan takut seketika menyerang, membuat Rara hanya sanggup memejamkan mata dengan tubuh bergetar.

"Kenapa? Kamu takut? Jika sudah tahu penakut, seharusnya kamu tidak berbuat yang aneh-aneh di luar sana, apalagi berani selingkuh dengan lelaki lain."

"Ak-aku ... gak-."

"Mau mengelak? Hm ...?! Kalo gak selingkuh, bagaimana mungkin ada yang mengirim bunga ke rumah ini. Dengan kata-kata lebay semacam itu." Shaka melempar tulisan yang sejak tadi erat digenggamnya, ke arah wajah Rara.

Air mata mulai mengalir dari kedua sudut mata yang terpejam. Rara menggigit bibirnya kencang, menahan isak tangis agar tak sampai terlontar suaranya.

Melihat itu, Shaka justru semakin frustasi. Dia memejamkan mata dan membungkam isak itu dengan bibirnya. Entah setan atau malaikat yang sedang menguasainya, hingga akhirnya kedua insan itu kembali menyatukan raga di atas ranjang kamar Rara.

Seulas senyum terlukis di antara air mata yang masih mengalir. "Kenapa sulit untuk mengatakan bahwa kamu cemburu, Mas. Kenapa harus dengan amarah saat kau datang memenuhi nafkah batinku. Tidak bisakah kau merasakan bahwa cinta juga telah bertunas di hatimu."

Pertanyaan-pertanyaan yang tak perlu mendapat jawaban, bermain dalam benaknya. Rara tertawa miris. Tak menyangka bahwa cinta dan pernikahannya akan sepelik ini. Walau berusaha menguatkan hati, nyatanya ada saat dia ingin menyerah. Dan, membiarkan setan tertawa karena berhasil memisahkan ikatan suci yang telah dihalalkan oleh Tuhan.

Selesai melampiaskan amarah dan hasratnya sekaligus, Shaka meninggalkan Rara di kamarnya. Dia masuk ke kamar pribadinya dan tak keluar hingga pagi menjelang. Rara pun tak ingin mengusiknya, hati dan fisiknya terlalu lelah.

Pagi hari, Shaka pun pergi tanpa sarapan terlebih dahulu. Bahkan teh paginya pun tak tersentuh sama sekali. Kembali Rara menangis, meredakan sesak yang masih menghimpit di hatinya sejak kejadian semalam.

Pukul sembilan pagi, barulah Rara bersiap ke restoran. Dia butuh suasana lain, untuk memulihkan perasaannya yang sedang kacau. Maisha juga barusan mengabari ingin bertemu dengannya.

Sesampainya di resto, ternyata Maisha sudah menunggunya sejak tadi. Wajahnya terlihat cerah. Tak ingin membuat sahabatnya khawatir, Rara membalas senyum serupa. Menarik kedua sudut bibirnya selebar mungkin, untuk meraup pahala senyum dihadapan saudaranya.

Beruntung, Rara telah mempertebal riasannya. Terutama di sekitar area mata, sehingga tak terlihat lagi sembap yang tadi sempat terlukis di paras ayunya.

"Kemarin kiriman bunga tulipnya sampe?"

Rara terkejut, bunga itu dari Maisha?

"Jadi, bunga itu darimu? Kenapa mengirim tanpa mencantumkan nama?"

(Bukan) Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang