BPI [44]

1.9K 163 14
                                    

Telah tiga masa fajar berganti senja. Selama itu, rindu di hati Rara semakin menumbuh tinggi. Saat malam menjelang, tubuhnya lelah, tapi sulit matanya terpejam lelap dalam buaian mimpi.

"Ibu mau saya buatkan apa?" tanya Bi Inah dengan raut cemas yang kentara.

Sejak kepergian Shaka, bertambah hari, kondisi morning sickness Rara semakin memburuk. Bahkan di hari ketiga ini, sejak pagi tak sedikitpun makanan yang bisa manyambangi lambungnya. Bahkan segelas air yang hendak masuk membasahi kerongkongannya pun seakan ikut bersekongkol, menolak masuk dalam jumlah banyak.

"Bisa tolong buatkan sup jagung manis aja, Bi?"

"Baik, Bu. Sebentar Bibi buatkan ya."

Rara mengangguk patuh dan Bi Inah segera berlalu pergi menuju dapur. Sambil menunggu, Rara mencoba memejamkan kedua matanya. Tubuhnya terasa lemah dan rasa pusing mulai menggelayut di kepalanya.

Begitu sup pesanan sang majikan selesai dimasak, Bi Inah bersegera mengantarkannya.

"Bu, ini supnya sudah matang. Semoga kali ini Bu Rara nggak mual lagi ya," ujar Bi Inah sambil meletakkan sup di atas nakas.

Melihat sang majikan yang masih terlelap, Bi Inah mencoba membangunkannya.

"Bu, bangun, Bu. Ini supnya dimakan dulu," ucap Bi Inah sambil mengelus lengan Rara, "Bu, bangun! Bu Rara."

Tubuh Rara yang tak juga bergeming, membuat Bi Inah menjadi panik.

"Pak ... Pak, tolong! Bu Rara pingsan, Pak."

Teriakan Bi Inah yang melengking kencang, menggema di kediaman milik Arshaka Hamizan Erlangga.

* * *

Milea terus menggenggam sebelah jemari sang putri yang tak tertancap jarum infusan. Matanya sendu memandang ke tubuh yang kini tampak lemah tergolek di atas ranjang rumah sakit.

"Sejak kapan morning sickness Rara parah begini, Bi?" tanya Zaza yang juga berada di sana.

"Sejak Pak Shaka pergi ke luar negeri, Bu. Sebelumnya memang setiap pagi Ibu mual-mual, tapi siangnya pasti membaik. Tapi, sejak Pak Shaka pergi mualnya semakin parah, Bu."

"Kenapa Bibi nggak mengabari saya? Harusnya apa pun yang menyangkut menantu saya, Bibi segera mengabari. Apalagi Rara sedang mengandung calon cucu saya, Bi."

"Maaf, Bu. Bibi memang salah. Tapi, Bu Rara melarang Bibi untuk memberitahukannya kepada Ibu. Bu Rara bilang dia nggak mau merepotkan Ibu," ujar Bi Inah kepada Zaza sambil menundukkan kepala.

Rasa takut, jelas menguasai Bi Inah. Suara Zaza yang meninggi beberapa oktaf dengan wajah yang mengeras, membuat hati Bi Inah menciut.

"Sudahlah, Sayang. Yang penting sekarang Rara sudah mendapat penanganan dari dokter. Kita tinggal tunggu dia siuman. Sabar, ya!" ujar Atha menasihati sang istri yang tampak marah.

"Mbak, maaf ya. Kondisi Rara begini karena aku lalai menjaganya," ujar Zaza tak enak hati kepada Milea, besannya.

"Nggak pa-pa, Mbak. Saya sangat mengenal Rara. Sejak dulu dia memang tak suka merepotkan orang lain. Kepada keluarganya sendiri pun kadang dia tertutup untuk hal-hal buruk yang menimpanya. Aku sudah pernah menasihatinya, tapi sepertinya dia masih sulit untuk terbuka," balas Milea seraya mencium telapak tangan sang putri, lalu melanjutkan, "Itu bentuk sayang Rara yang begitu besar kepada kita. Dia tak ingin kita bersedih karenanya. Jadi, saat Rara siuman nanti sebaiknya jangan tunjukkan kesedihan kita. Dia mudah kepikiran, Mbak."

"Iya, Mbak benar. Kita tak boleh menunjukkan raut kesedihan di depan Rara. Dan sekarang, aku akan mengabari Shaka terlebih dahulu ya, Mbak," pamit Zaza keluar kamar inap Rara. Atha mengikuti langkah istrinya dan membiarkan Milea serta Rayhan yang menjaga putri mereka.

(Bukan) Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang