BPI [53]

2.4K 182 33
                                    

"Masak apa, Ra?"

Mendengar namanya disebut, Rara otomatis menoleh. Didapatinya Shaka telah selesai mandi dan terlihat semakin tampan dengan kemeja navy yang memang telah disiapkan Rara, tadi sebelum ke dapur. Harum parfum Shaka pun turut menyambangi indra penciumannya. Segar dan menawan, itulah dua kata yang Rara ingin sematkan kepada suaminya.

"Aku buat jus apel dan salmon panggang dengan tumisan brokoli."

Shaka menyukai seafood dan memang hanya tinggal bahan-bahan itu yang tersedia di lemari pendingin. Rara berencana belanja setelah pulang dari liburannya. Memenuhi kulkasnya dengan bahan makanan, sayuran dan buah-buahan.

Shaka terus melangkahkan kaki hingga tepat dirinya berdiri di belakang tubuh sang istri. Tangannya tak tinggal diam, dia segera menelusupkan jemarinya untuk memeluk erat Rara dari belakang.

"Makasih, Ra."

Rara merasa geli, saat napas suaminya seperti menggelitik indra pendengarannya ketika Shaka berbisik tadi. Bisik penghargaan atas usahanya membuatkan sarapan di pagi ini.

Begitu hidangan terisi di atas piring saji dan jus apel terisi ke dalam gelas, Shaka membantu Rara membawakan sarapan mereka ke meja makan. Shaka begitu menikmati sarapan kali ini. Setelah sekian lama, akhirnya lidahnya kembali dapat menikmati masakan Rara. Indra pengecapnya, selalu merasa termanjakan oleh setiap menu yang disiapkan oleh tangan sang istri.

"Berapa lama Mas akan berada di kantor?" tanya Rara begitu mereka selesai sarapan.

"Sekitar dua jam. Aku akan mengabarimu, begitu segala urusanku di kantor selesai."

Rara mengangguk, lalu menyerahkan tas kerja suaminya. Sementara Shaka telah selesai memindahkan koper bawaan mereka ke dalam bagasi mobil. Hal ini dilakukan agar nanti saat menjemput Rara, mereka bisa langsung berangkat tanpa repot mengurus barang bawaan lagi. Namun, sesuai kesepakatan semalam, tiket pesawat, Rara yang akan membawa di tas ransel rajutnya.

"Jangan lupa kabari aku saat Mas akan menjemput."

Shaka mengangguk. Dia tahu rasanya menunggu itu tak enak. Jadi, dirinya berjanji tak akan berlama-lama. Dia akan bergerak cepat untuk menyelesaikan segala urusan kantornya supaya Rara tak lama menunggu.

Begitu mobil dan pemiliknya telah berlalu pergi, Rara masuk kembali ke rumahnya. Dia menemui Bi Inah unyuk kembali mengingatkan apa saja yang harus dilakukan selama dirinya bersama Shaka tak ada di rumah. Setelahnya Rara hanya duduk santai di taman samping sambil melihat-lihat konten youtube tentang make up & beauty. Sesekali matanya terlihat berbinar menatap takjub dan bibir merahnya merekahkan senyuman. Rara ingin bisa semakin terampil merias diri, terutama saat bersama Shaka.

Menit per menit telah berlalu lama, tanpa disadarinya dua jam waktu yang dijanjikan Shaka telah terlewati sejak seribu detik yang lalu. Rara mendesah gusar, takut jika mereka terlambat ke bandara. Tak lagi bisa menunggu, Rara kembali mendial nomer ponsel Shaka untuk yang ketiga kali. Semoga kali ini diangkat oleh pemiliknya.

Tak juga mendapat jawaban, Rara akhirnya menghubungi nomer kantor suaminya. Terkejut. Menurut informasi, Shaka telah meninggalkan kantor sejak 45 menit yang lalu. Mendengar kabar itu, kegelisahan Rara pun memuncak. Dia takut, jika hal buruk tiba-tiba saja menimpa suaminya.

Beruntung, Rara segera ingat untuk melacak keberadaannya melalui email suaminya yang telah tertaut. Berhasil. Menggunakan kendaraan online Rara segera menuju ke lokasi, titik posisi di mana suaminya berada. Klinik Kasih Ibu, ternyata di tempat itulah kini Shaka berada. Tapi, sedang apa Shaka berada di sana? Siapakah sosok penting yang sedang ditemui Shaka hingga sampai melupakan janjinya.

Rara segera mengedarkan pandangan, ke seluruh penjuru. Seluas matanya mampu memandang, Rara terus berjalan dan mencari-cari keberadaan sang suami.

"Maaf, Sus. Boleh saya tanya?"

"Ya, ada apa, Bu?"

"Apa ada di antara Suster yang melihat suami saya berkunjung kemari? Ini fotonya." Rara menunjukkan foto Shaka yang ada di ponselnya. Dua orang perawat pun turut melihat, tapi tak ada satupun diantara mereka yang melihatnya.

Tak putus harapan, Rara terus melangkah masuk semakin dalam. Waktu terus berjalan, membuat Rara semakin gelisah. Tangannya tak tinggal diam. Sesekali jemarinya kembali mendial nomer sang suami.

"Aku merasa gagal menjadi seorang ibu. Aku takut, Ka."

"Tenang aja. Ada aku di sini. Zi pasti baik-baik saja. Dia anak yang kuat."

Dua suara yang begitu dikenalinya, terdengar di salah satu sudut koridor. Rara segera mendekat untuk memastikan. Dia yakin, pemilik suara itulah yang sejak tadi dicari olehnya.

"Apa Ibu dan Bapak adalah orang tua dari anak ini?"

"Iya, Dok. Bagaimana keadaannya?"

Suara Shaka terdegar tegas tanpa keraguan. Padahal dia bukanlah orang tuanya, tapi kenapa justru mengiyakan? Rara yang hendak semakin mendekat, segera menghentikan langkahnya. Sesak. Tiba-tiba udara di sekitarnya seolah menipis.

Terus dipandanginya kedua sosok itu, hingga tak lama keduanya lalu masuk ke dalam ruangan. Begitu tak ada lagi yang bisa dipandangnya, mata Rara terasa memburam. Kristal cair seolah kaca, menggembun di matanya. Sepersekian detik, air matanya lolos begitu saja. Rara merasa tak sanggup berada di antara mereka, hingga dirinya segera berbalik arah dan berlari sejauh mungkin dari tempat itu.

* * *

"Astaghfirullah, aku lupa. Aku harus pergi sekarang." Shaka tiba-tiba panik, saat menyadari jarum jam di dinding rumah sakit telah melewati jam dua belas siang.

Khawatir pada kondisi Zi yang tiba-tiba kejang, membuat Shaka melupakan perjalanan liburannya dengan Rara. Begitu mendudukan diri di mobil saat hendak pulang ke rumah, tiba-tiba Nisa menghubungi sambil menangis. Hal itu turut membangkitkan kecemasannya. Apalagi ini menyangkut Zi, gadis kecil yang di sayanginya.

Dari hasil pemeriksaan, Zi mengalami First Unprovoked Seizure atau kejang yang terjadi tanpa faktor pencetus seperti demam, infeksi sistem saraf pusat, trauma kepala, gangguan metabolik, hipoksia otak, ataupun obat-obatan. Selesai mendapatkan penanganan medis awal, Zi segera dipindahkan ke rumah sakit tempat Nisa bekerja. Selain untuk memudahkan pengawasan, peralatan medis di sana jauh lebih lengkap. Apalagi masih ada beberapa prosedural pemeriksaan yang masih harus dilalui Zi setelah ini.

"Maaf, Pak. Tadi ada wanita yang mencari keberadaan Bapak. Beliau mengaku sebagai istri Bapak." Salah seorang perawat yang datang terakhir ke ruangan Zi tiba-tiba mendekat.

Rara?

Sebuah nama, kini menguasai ruang pikirannya. Mungkinkah Rara sampai kemari? Tapi, kenapa dia tak menghampirinya? Seketika Shaka sadar, bahwa dia kembali bersalah. Rara pasti gelisah dan cemas menunggunya.

Ah ... tak ingin semakin membuang waktu, Shaka segera berlari menuju parkiran. Saat mendapati ponselnya yang tertinggal di dalam mobil, Shaka melihat banyak panggilan masuk atas nama istrinya. Dengan kecepatan maksimal yang dapat dipacu mobilnya, Shaka kembali ke rumah.

"Sejak kapan Rara pergi, Bi?"

Mendengar nada suara yang penuh penekanan itu, membuat Bi Inah takut dan terbata-bata saat menjawab pertanyaan majikannya. "Se ... sejak tiga jam ... yang lalu."

Shaka kembali keluar, memacu kendaraannya kembali membelah jalanan ibu kota menuju ke sangkar burung besi. Tempat seharusnya tiga setengah jam yang lalu, dirinya dan Rara menuju ke sana. Melihat layar berisikan jadwal penerbangan, Shaka semakin gusar. Pesawatnya telah lepas landas sejak setengah jam yang lalu.

Di mana Rara berada kini? berulang kali batinnya bertanya.

.
.

Alhamdulillah, BPI update kembali.
Semoga kalian tetap setia menunggunya.

Jangan lupa tinggalkan jejak kehadiran dengan vote & komentar.
Terima kasih
Jazakumullah khair 😘


💜

Tegal, 01092021

(Bukan) Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang