BPI [58]

2.3K 163 19
                                    

Shaka tersenyum puas memandang layar persegi yang kini menyala tepat di hadapannya. Sebuah gambar 3D hasil redering-nya tampak begitu sempurna. Bangunan tiga lantai dengan dominasi warna hijau dan putih yang mengusung tema green building itu terlihat estetik dipandang mata dan tentunya ramah lingkungan. Tak butuh waktu lama, ia segera mengirimkan filenya melaui surel kepada Ustadz Salim, tentu saja lengkap dengan revisi RAB-nya.

"Gimana, progresnya?" tanya Atha saat mereka berkumpul di ruang makan.

Begitu adzan maghrib berkumandang, menu berbuka mereka sederhana, hanya kurma, buah dan jajanan tradisional seperti kolak pisang atau biji salak. Selepas tarawih, barulah mereka menikmati main course-nya. Malam ini Zaza memasak rendang karena Atha sedang menginginkannya.

"Begitu ustadz Salim acc dengan draft terakhir ini, kita akan langsung mulai pembangunannya."

"Kamu akan ke sana?"

"Ya, tentu. Aku perlu kembali datang untuk mengawasinya hingga proyek ini selesai."

"Mengapa tidak tim yang lain saja?"

Mendengar pertanyaan papanya, Shaka tersenyum sambil menggelengkan kepala. "No. Khusus proyek ini bagianku."

"Baguslah, papa senang kau langsung turun tangan. Berapa persen keuntungan yang kau rencanakan dari proyek ini?"

"Nggak ada. Ini proyek nirlaba-ku. Anggap saja bagian dari sedekah."

Atha mengernyit lantas kembali bertanya, "Lalu bagaimana dengan fee timmu?"

"Tentu saja mereka tetap mendapatkan sebagaimana mestinya setiap bulan."

Atha tersenyum saat mendengar jawaban itu. "Good job, Ka. Oh ya, selama di sana, jangan cuma di proyek aja! Jalan-jalan jugalah kau saat di sana."

Tumben Papa nyuruh jalan-jalan pas kerja?

Walau merasa aneh, Shaka mengangguk saja. Ide sang papa tak buruk juga. Mungkin saja ada keberuntungan lain yang bisa diperolehnya di kota kecil itu.

Yang Shaka tahu, biaya pembangunan ponpes itu sebagian besar berasal dari wakaf para donatur. Keberadaannya begitu urgent. Menurut Ustadz Salim, sekolah berbasis boarding school seperti pondokan yang terdapat di sana kebanyakan baru sampai tingkat pendidikan menengah pertama, belum menyentuh pendidikan tingkat atas. Jadi, hatinya pun turut tergerak untuk ikut membantu, baik secara langsung maupun dengan keahlian yang dimilikinya seperti saat ini. Dia hanya mendapatkan dana untuk cost pengerjaannya saja, tanpa mengambil untung sepeser pun atas rancangan bangunan yang dibuatnya.

"Kayanya seru banget bahasan kalian." Zaza muncul dengan membawa salad buah sebagai dessert berbuka mereka. Ia meletakkan masing-masing satu cup untuk suami, sang putra dan dirinya sendiri.

Selesai melafalkan doa sebelum makan, Atha segera menyedokkan salad itu ke dalam mulutnya. Shaka pun melakukam hal yang sama, dingin segera meliputi jalur pencernaannya, karena Zaza baru saja mengeluarkannya dari dalam kulkas.

"Kita lagi bahas pembangunan pondok pesantren yang dikelola Ustadz Salim." Zaza mendengarkan dengan seksama sambil menikmati dessert miliknya. "Dalam waktu dekat Insya Allah pembangunannya akan segera dimulai."

"Bagus, semoga semuanya berjalan lancar." Shaka dan Atha mengamini doa wanita yang mereka sayangi itu.

"Apa Arkan belum pulang?"

"Belum, Mas. Pas nelepon, sih, bilangnya mungkin tengah malam baru sampai."

Shaka mengernyit bingung, ia tak tahu jika sang adik sedang pergi. Pikirnya, pantas saja sejak berbuka tadi batang hidungnya tak terlihat. Awalnya ia kira Arkan ikut tilawah di masjid seusai Tarawih tadi--karena memang itu kebiasaannya jika sedang di sini, tapi ternyata tidak. Ketika bertilawah suaranya begitu merdu, sehingga tak jarang jika ada acara keluarga, ia didaulat untuk menjadi pembaca ayat suci Al Quran.

(Bukan) Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang