BPI [63]

1.8K 146 8
                                    

"Apa Ibu masih di resto, Yan?"

"Iya, Pak. Ibu Rara masih di dalam."

"Ya udah, makasih, Yan."

Shaka memutus panggilannya kepada Riyan, satpam restoran milik Rayhan Adhiatama. Selama ini dari Riyan lah, ia mendapatkan info tentang keberadaan Rara.

"Assalamu'alaikum, Rez, biasa ya. Dia masih di resto."

"Wa'alaikumsalam. Oke, Bos. Saya ke sana sekarang."

Shaka menepati janjinya, untuk berhenti mengusik Rara. Berhenti menghubungi wanita itu. Namun, dia tak pernah bisa melepaskannya begitu saja. Dia tak akan bisa tidur, sebelum tahu bahwa malam itu Rara telah aman di dalam rumahnya. Shaka tak bisa tenang, sebelum menerima laporan bahwa Rara baik-baik saja di hari itu.

Shaka juga berusaha mempermudah semuanya. Pagi tadi dia sengaja tak datang ke pengadilan agar semuanya berjalan mudah dan cepat. Semua telah berakhir. Kini Rara bukan lagi miliknya.

"Maafkan Papa, Nak. Papa tak bisa membuat ibumu tetap bertahan. Papa yang salah, ibumu tak pernah bersalah. Dia wanita yang baik. Papa lah lelaki yang jahat. Kamu bahagia di sana ya. Papa pun akan berusaha membahagiakan ibumu. Walaupun semuanya terasa menyakitkan untuk Papa. Semua memang karena Papa yang salah. Maaf."

Dengan ibu jarinya, Shaka mengelus-elus print usg yang pernah ditemukannya di kamar Rara. Sesuatu yang paling disesalinya hingga kini, karena tak bisa menjaga semua yang dia sayangi, hingga membuat satu per satu melepas pergi darinya--Rara dan bayi mereka.

***

Rara menyesap teh chamomilenya perlahan. Pagi tadi, sidang perceraiannya telah memberikan keputusan. Shaka tak mengadirinya dan itu membuat semuanya semakin mudah. Namun, entah kenapa dia tak merasa senang ataupun sedih. Yang dirasakannya selama ini hanyalah ... kosong.

Bukannya langsung pulang, Rara lebih memilih datang ke restonya untuk menenangkan diri. Setelah memasak di kitchen selama tiga jam terakhir, kini dia duduk di antara para pengunjung sambil menikmati masakannya sendiri.

"Assalamu'alaikum, Sayang. Maaf, Aa terlambat."

"Wa'alaikumsalam, gak pa-pa, A. Aku juga belum lama nunggunya, kok."

"Aku bawa bunga dan coklat buat kamu."

"Waah ... makasih, A. Dari kemarin aku pengin banget makan coklat ini."

"Ya udah, ayo makan dulu coklatnya. Sambil nunggu makanannya sampe. Udah pesen belum?"

"Baru pesen minum aja sih, A."

"Kamu mau apa? Aku pesenin sekalian."

Dengan seksama, Rara memperhatikan pasangan suami istri yang duduk tak jauh darinya. Terlihat perut wanita itu yang membuncit bulat sedang dielus-elus suaminya.

"Hari ini dia aktif banget apa gak?"

"Wajar kalo dia aktif. Aku malah senang." Dengan nada suara yang dibuat seperti anak kecil, sang wanita kembali berujar, "Twins lagi cari jalan menatap dunia, Ayah."

Oh ... ternyata janinnya kembar. Pantas, perutnya terlihat lebih besar daripada umumnya. Rara menebak, tak akan lama lagi baby twins itu akan lahir ke dunia. Tanpa sadar, Rara turut menarik kedua sudut bibirnya simetris. Andai dia tak keguguran, mungkin sekarang dirinya sama dengan wanita itu--sedang deg-degan menunggu saat kelahiran.

"Hai, Sayang. Baik-baik di rahim Bunda ya. Ayah dan Bunda sayang kamu. Insya Allah gak lama lagi kita pasti ketemu." Rara membayangkan Shaka yang berlutut di hadapannya yang sedang hamil besar. Shaka mencium perut itu dengan sayang.

Rara menggeleng-gelengkan kepala. Dia ridho pada takdir yang telah Allah tetapkan, maka tak seharusnya ia berandai-andai seperti tadi.

Tak ingin semakin larut dalam angan-angan palsu, Rara segera menghabiskan sisa churros-nya. Makanan penutup khas Negeri Matador yang berbentuk seperti cakwe dengan taburan kayu manis dan gula di atasnya. Cake ini akan menjadi menu baru restoran mulai bulan depan.

Begitu sampai di ruangannya, Rara berwudhu dan mendirikan sholat Isya yang belum sempat ditunaikan. Selesai dari aktivitas sembahyangnya, dia lanjut membaca Al Qur'an hingga tak terasa waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam.

"Rara lagi di mana, Sayang?" tanya Milea saat meneleponnya karena khawatir.

"Masih di resto, Bun."

"Bunda suruh Harist jemput Rara di sana ya?!"

"Nggak perlu, Bun. Jam segini jalanan masih lumayan rame, kok. Ini juga Rara dah siap-siap mau pulang ke rumah. Bunda tungguin aja, ya."

"Beneran gak pa-pa? Bunda khawatir, Sayang."

"Nggak pa-pa, Bun. Lagian ini bukan pertama kali juga Rara pulang jam segini, kok. Insya Allah aman, Bun."

Walau terasa berat, Milea pun mengalah. Mengenyahkan rasa cemas di hatinya. "Ya udah, Bunda tunggu Rara di rumah. Hati-hati di jalan ya, Sayang."

Selesai melipat mukena dan sajadah, Rara bergerak ke arah loker kecil yang terdiri dari tiga pintu. Menaruh perlengkapan sholatnya ke dalam ruang teratas lemari kayu itu.

Ketika berpapasan dengan para karyawan, Rara mengangguk ramah. Begitu sampai di tempat biasa kendaraannya terparkir, Rara mengamati sekitarnya. Sejak malam itu, tak lagi didapatinya kendaraan Shaka berkeliaran di sekitar dirinya berada. Menghelas napas pelan, Rara lalu memasuki mobilnya. Tak ingin merasa sepi, karena sendirian di dalam kendaraannya, gadis berjilbab coklat susu itu menyetel musik. Suara Nissa Sabyan mengalun merdu di telinganya.

Merasa ada mobil yang turut mengikutinya, Rara kembali menoleh ke arah spion. Ia tak mengenal mobil itu. Otaknya terasa buntu menerka-nerka sosok penguntitnya. Mendadak perasaannya berubah cemas.

"Ya Allah, lindungi hamba. Laa hawla wala quwwata illa billah." Bibirnya terus melafadzkan doa dan zikir.

Untuk mengecoh sang penguntit Rara menaikkan kecepatan mobilnya, meliuk di antara kendaraan yang melaju, lalu berbelok ke dalam sebuah gang perkampungan. Kendaraannya terus melaju, tanpa disadarinya sebuah kendaraan lain masih mengikuti laju mobilnya.

***

"Bos, sepertinya Bu Rara mengetahui saya mengikutinya. Saya kehilangan jejaknya."

Shaka yang saat itu sedang mengikuti kajian keislaman di masjid milik yayasan yang dikelola Ustadz Salim, mendapatkan laporan dari orang suruhannya. Ia lalu menanyakan posisi terakhir saat jejak Rara menghilang. Tak ingin mengganggu jamaah lain yang juga sedang menyimak kajian, Shaka mundur perlahan dari posisi duduknya. Sebelum raganya benar-benar meninggalkan masjid tersebut, Shaka sempat mengisi kotak infaq masjid dengan semua uang cash yang ada di dalam dompetnya.

"Ra, semoga kamu baik-baik saja. Maaf, jika tindakanku justru membuatmu ketakutan," ujar Shaka di dalam hati. Tak ingin terus merasa khawatir, kini ia sendiri yang akan memastikan Rara telah sampai selamat hingga ke rumahnya.

.
.

Alhamdulillah, BPI Update yach.
Semoga kalian suka part ini.
Jangan lupa selalu tinggalkan jejak kehadiran dengan vote & komentar ya.

Terima kasih,
Jazakumullah khairan katsir

💙💜❤💚

Tegal, 25012022

(Bukan) Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang