BPI [3]

2.5K 149 3
                                    

Lima belas tahun yang lalu...

Saat itu aku masih remaja berseragam putih biru (SMP). Hari itu bunda mengajakku menjenguk anak seorang temannya yang sedang sakit.

Sesampai di rumah teman bunda, aku melihat yang sakit adalah seorang gadis kecil yang cantik dan lucu. Pipinya chubby dan menggemaskan. Saat kami menjenguk ke sana, gadis kecil itu sedang menangis.

"Syilla mau lihat Kak Shaka main bola, Mah," rengeknya pada sang mama.

"Tapi kamu lagi sakit, Sayang. Lain kali kalau kamu sehat dan Kakak tanding lagi kamu boleh lihat kok. Mama janji, asal kamu sehat," bujuk sang ibu kepada putrinya.

Gadis cantik itu bernama Arsyilla, dia putri kedua teman Bunda yang bernama tante Zaza. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba aku berucap kepada Syilla, "Kamu jangan sedih, Dek. Aku akan merekam permainan Kak Shaka dan memperlihatkannya kepadamu."

Seketika mata Syilla membulat lebar, dia begitu senang mendengar perkataanku. Sejak saat itu, Syilla menganggapku sebagai sahabat terbaiknya. Aku pun menerima ajakan persahabatan itu dengan senang hati.

Aku benar-benar merealisasikan ucapanku saat itu. Keesokan harinya saat hari Minggu, aku datang ke GOR Soemantri Brodjonegoro untuk merekam pertandingan kakak laki-laki Syilla.

Sengaja aku mengambil duduk di tribun paling depan agar bisa mendapatkan hasil rekaman yang terbaik. Tepat pukul 15.30 pertandingan di mulai. Dengan konsentrasi penuh kuarahkan kamera mengikuti pergerakkan Kak Shaka di lapangan, karena aku telah mengenal sosoknya dari foto yang ditunjukkan oleh Syilla.

Tidak terasa bibirku menyunggingkan senyum sejak awal mengamatinya di lapangan. Kak Shaka memiliki wajah yang cukup tampan dengan tubuh yang proporsional sebagai atlet. Pergerakkannya di lapangan sebagai striker bola begitu lincah, membuatnya terlihat semakin menawan diantara pemain lainnya. Aku pun mendengar banyak penonton yang meneriakkan namanya, saat dia menggiring bola menuju gawang lawan.

Pertandingan akhirnya berakhir dengan skor 2:0, dengan kemenangan berada di klub Kak Shaka. Aku ikut merasakan euforia kemenangan para pendukung klub sepak bola itu.

Pertandingan usai, penonton mulai beranjak untuk keluar dari sana. Karena tidak suka berdesak-desakkan, aku memilih untuk menunggu, bertahan dalam posisi dudukku saat ini sambil mengamati video rekaman pertandingan tadi.

"Rara? Teman Syilla?" Suara bariton itu menyapa indra pendengaranku. Ternyata Kak Shaka sudah berada didekatku. Tampak ragu dia bertanya memastikan tentang diriku.

"Iya, aku Rara, Kak Shaka."

Kulihat dia tersenyum tipis lalu duduk di sebelahku dengan memberi jarak.

"Terima kasih sudah merekam pertandinganku untuk Syilla."

"Iya Kak, sama-sama. Selamat ya, performa Kakak sore ini keren banget."

"Terima kasih. Oh ya, sekarang aku harus kembali gabung bareng teman-teman."

"Silakan, Kak. Aku juga sudah mau pulang," ucapku sambil berdiri dari posisiku. Kak Shaka juga ikut berdiri, bersiap kembali bergabung dengan kawan-kawannya.

"Ra..." Aku mendengar Kak Shaka kembali memanggil namaku singkat.

"Iya, Kak. Kenapa?"

Bukannya menjawab dia menunjukan jarinya ke arah tempat dudukku. Seketika aku ikut menoleh, melihat arah pandangan Kak Shaka. Aku terkejut, mendapati noda merah seperti darah di tempatku duduk.

"Kamu lagi datang bulan ya? Kayanya tembus." Tampak Kak Shaka ragu mengucapkan itu.

Aku sendiri syok, mendapati kondisiku saat ini.

"Aku nggak tahu. Mungkin baru dapat," jawabku pelan. Suaraku terasa bergetar, antara gelisah, takut dan malu bercampur aduk menjadi satu. Bagaimana mungkin seorang laki-laki yang baru kukenal malah memergokiku dalam kondisi seperti ini? Rasanya aku sangat merasa malu.

"Kamu duduk dulu di sini, tunggu sebentar. Aku cari sesuatu untuk menutupinya."

Aku hanya mengangguk, menuruti permintaannya. Cukup lama aku menunggunya, sampai Kak Shaka datang sudah berganti pakaian dan wajahnya terlihat lebih segar. Mungkin dia sekaligus membersihkan diri saat meninggalkanku tadi. Dia datang membawa tas ransel, jaket dan kantong kresek hitam yang entah apa isinya. Dia menyodorkan kantong itu kepadaku.

"Di dalamnya ada pembalut dan pakaian ganti. Maaf, aku hanya kira-kira ukurannya, semoga cukup."

Aku menerima kantong kresek itu, lalu berdiri dari posisi dudukku.

"Permisi, boleh angkat kedua tangannya sebentar?"

"Eh?"

Walaupun bingung, aku tetap mengikuti permintaannya. Aku melihat Kak Shaka mengangguk saat mendapatiku menuruti perkataannya tadi, kemudian dia berjongkok di hadapanku.

"Maaf ya," ucap Kak Shaka sambil kedua tangannya melingkar di pinggangku, dengan tetap sopan, berhati-hati tidak menyentuh tubuhku. Kak Shaka memakaikan jaketnya di pinggangku.

Seketika aku menahan napas, ritme jantungku mendadak bermaraton di dalam sana. Aku pastikan, wajahku pun kini pasti memerah karena malu.

"Ini sementara bisa menutupi noda di roknya," ucap Kak Shaka begitu dia selesai mengikatkan jaket miliknya di pinggangku, menutupi area yang terdapat noda merah itu.

"Tapi ini akan kotor."

"Tidak apa, yang penting noda itu tertutupi dan kamu merasa nyaman."

Setelah mengatakan itu, dia mengambil tissue basah dari dalam tasnya dan tanpa merasa jijik Kak Shaka mengelap bekas noda itu.

"Biar aku saja," ucapku gugup begitu menyadari keadaan di sekitarku.

"Nggak usah, aku saja. Kamu cepatlah ke toilet. Pasti sudah nggak nyamankan dengan kondisi seperti itu?"

Aku mengangguk sebagai jawaban, lalu beranjak dari sana. Begitu sampai di toilet, aku membuka kantong kresek itu. Aku mendapati ada pembalut bersayap, pakaian dalam dan gamis batik lengan panjang di dalamnya. Semuanya masih baru, entah di mana Kak Shaka membelinya. Semua juga terasa pas ditubuhku.

Selesai membersihkan diri dan mengganti pakaianku dengan yang bersih, aku kembali menuju ke tempat Kak Shaka menungguku.

"Kak jaketnya aku bawa dulu, biar aku cuci dulu."

"Ok. Udah kan? Yuk! Kita balik sekarang."

Begitu sampai di parkiran depan, dia bertanya kepadaku, "Kamu dijemput atau mau aku antar?"

"Aku dijemput supir. Sebentar lagi juga sampai, Kak."

"Ok."

Kulihat setelahnya Kak Shaka ikut menunggu bersamaku. Lalu aku teringat belum mengucapkan terima kasih kepadanya.

"Terima kasih, Kak."

Kulihat Kak Shaka hanya tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban. Saat itu aku melihat senyum Kak Shaka sebagai laki-laki begitu manis. Dengan tidak tahu malunya, mulai detik itu jantungku berdetak lebih cepat untuknya. Hatiku selalu berdesir hebat saat berada di dekatnya.
.
.

Alhamdulillah,, Rara dan Shaka Update lagi nich...

Semoga kalian suka 😍😙

Silakan tinggalkan jejak dengan Vote & Komen yach 😄😍

😀 Terima Kasih 😁

(Bukan) Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang