Beruntunglah jika hidupmu di kelilingi oleh orang-orang baik, karena hal itu bagian dari rezeki. Jika ada yang mengira, bahwa rezeki hanya berupa materi atau uang, maka dia salah besar. Pasangan, anak, keluarga, dan teman-teman yang baik adalah rejeki, bahkan memiliki tetangga yang baik juga bagian dari rezeki.
Berulangkali Rara melirik ke arah jam berbentuk lingkaran dengan gambar ka'bah di bagian tengahnya. Biasanya Shaka sudah turun dan sarapan di depan meja makan sejak setengah jam yang lalu. Namun, hingga kini menit ke empat puluh lima, sosok maskulin itu belum juga terlihat.
Rasa was-was mulai menggelayuti hatinya. Dengan ragu, Rara mulai menapakkan kakinya pada undakan tangga. Menaikinya satu per satu. Tepat di depan pintu kamar sang suami, pelan tangannya terulur mengetuk.
Hingga ketukan ketiga, tak didapatinya suara atau pergerakan dari dalam kamar. Diberanikannya tangan yang semula untuk mengetuk kini menyentuh daun pintu dan memutarnya. Berharap pintu itu tak dikunci sehingga Rara bisa dengan cepat mengetahui kondisi Shaka.
Dilihatnya, sesosok tubuh bergelung di bawah selimut tebal. Dua gorden panjang yang terjuntai panjang, masih menghalangi cahaya matahari pagi menerobos masuk ruangan bernuansa monocromatic itu. Seketika firasat buruk mampir dalam pikirannya, apa Mas Shaka sakit?
"Mas, kamu baik-baik aja?" tanya Rara begitu berada di dekat ranjang.
"Mas, kamu sakit ya?"
Tak mendapat jawaban, Rara berinisiatif menyingkap selimut itu. Mata Shaka tampak terpejam. Basah keringat terlihat di dahi dan tampak tercetak pada piyama katun yang dipakainya.
Panas, itulah suhu yang Rara rasakan saat kulitnya menyentuh kulit kening sang suami. Tampaknya, sentuhan itu mengganggu kenyamannya. Shaka menggeliat kecil lalu merintih singkat.
"Mas, kamu sakit ya? Bangun yuk, kita periksa ke rumah sakit." Pelan digoyangkannya lengan berotot milik sang suami.
Namun, tubuh itu bergeming. Hanya rintihan yang terdengar menyayat pilu hati Rara. Segera diambilnya ponsel untuk menelepon dokter keluarganya. Tunggu, bukannya Papa Atha juga seorang dokter? Rara bimbang, kepada siapa dia akan meminta pertolongan. Harusnya kepada Papa Atha, tapi dia tak mau kondisi Shaka justru membuat mereka cemas.
Di tengah kebimbangannya, sebuah pesan masuk ke WAG ibu-ibu komplek perumahan yang mengabari kegiatan PKK sekaligus arisan akan dilakukan akhir pekan ini di rumah ketua RT. Saat itulah Rara teringat, ada tetangganya--Shafiyyah, yang hanya bejarak dua rumah darinya. Suaminya merupakan seorang dokter. Jadi, Rara berinisiatif meminta pertolongannya saja.
Beruntung, sang dokter tetangga itu masih di rumah. Jadi, kini Shaka bisa segera diperiksa olehnya.
"Hasil pemeriksaan sementara Pak Shaka terkena typus. Tapi, kalo mau lebih akurat harus tes widal. Pak Shaka juga sepertinya, ada maag. Iya, Bu?"
Rara jadi teringat, beberapa hari kemarin Shaka memang lebih sering minta dibuatkan bubur. Mungkin, saat itu dia telah merasakan tubuhnya bermasalah. Akhir-akhir ini dia memang juga minta untuk tak perlu dikirimi makan siang ke kantor. Jadi, tak bisa Rara ketahui makanan apa yang masuk ke lambung suaminya saat siang atau malam di saat pulang larut.
"Sepertinya iya, Dok."
"Ini saya resepkan obat. Ada yang dikonsumsi sebelum dan sesudah makan."
"Nanti aku minta Bik Imah kemari buat membelikan obat, ya?! Kasian Mbak Rara. Masa harus ninggalin suami yang lagi sakit sendirian?" ucap Shafiyyah yang ikut datang menemani sang suami.
"Nggak pa-pa, Mbak. Nanti malah merepotkan."
"Nggak. Kita kan tetangga dekat. Jadi, harus saling membantu."
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Pernikahan Impian
Romance"Menikahimu adalah mimpiku sejak dulu. Saat mimpi menjelma nyata, ternyata bukan surga yang kupijak, tetapi laksana neraka yang aku masuki." (Azzahra Putri Adhiatama) "Terkadang kita salah menerjemahkan sebuah rasa, karena begitu tipis batas antara...