BPI [55]

2.4K 188 25
                                    

Jika ada yang ingin Shaka lakukan saat ini, maka hal itu adalah menciptakan mesin waktu yang bisa membawanya ke masa lalu. Masa di awal pernikahannya dengan Rara. Dia tak ingin menjadi bodoh dengan membenci sang istri. Dirinya ingin menebus segala kesalahan dan kekeliruan atas semua perbuatannya selama ini. Namun sayang, hal itu mustahil. Impossible. Tak akan mungkin pernah terjadi.

Sejak kemarin Shaka hanya mengurung dirinya di kamar. Berulang kali matanya tak bosan menyaksikan rekaman CCTV rumahnya. Shaka tersenyum saat melihat Rara begitu bersemangat di dapur, memasak makanan kesukaannya. Rara yang tersenyum melihat tontonan kartun dan tayangan komedi di layar televisi. Rara pun tampak selalu bersemangat, saat menjelang dan sesudah dirinya berkunjung ke kamar itu. Menghabiskan malam bersama, demi mendaki puncak kenikmatan surgawi dunia.

Namun, Shaka akan semakin bersalah saat melihat bagaimana perjuangan wanita itu untuknya. Saat Rara terjatuh di tangga demi segera mencapai ke kamarnya dan menolongnya yang saat itu sedang sakit. Bagaimana wajah pucat itu saat dirinya menyiksa Rara di bawah guyuran air hujan. Menahannya agar tak bisa masuk ke rumah. Lalu, setiap Rara menangis diam-diam setelah disakiti oleh lisan maupun perbuatannya. Namun, saat bersama Bi Inah atau orang lain, Rara akan segera mengubah ekspresinya, menutup segala lukanya dengan senyuman. Shaka yakin semua itu karena Rara ingin menjaga nama baiknya sebagai suami.

Dug dug dug!

Shaka mengepalkan telapak tangan kanannya erat. Berulang kali dirinya memukul-mukul meja. Emosinya membutuhkan pelampiasan. Kecewa, marah kepada dirinya sendiri.

"Aaarrggghhh!!" Shaka jatuh berlutut di lantai. "Ra, maafin aku. Aku bener-bener nyesel, Ra."

Setetes air mata meluncur jatuh. Takut. Ketakutan tak mendapat maaf Rara, kini mendominasinya. Kembali Shaka memukul-mukul lantai tempatnya berpijak hingga tangannya luka dan berdarah.

* * *

"Bagaimana kondisinya, Dok?"

"Lambung Pak Arshaka luka. Ini sudah dua kali dalam bulan ini beliau dirawat. Saya mohon kerjasama keluarga untuk menjaga pola makan dan mengendalikan stresnya. Saya kembali menemukan jejak obat penenang dalam dosis tinggi di tubuhnya."

Zaza mengerjapkan mata, cairan bening meluruh melewati kedua pipinya. Dia merasa sedih begitu mendengarkan penjelasan dokter.

Sejak kepergian Rara, Bi Inah dan suaminya tak lagi menginap di rumah sang putra. Namun, beberapa jam dalam sehari mereka akan berada di sana untuk bersih-bersih rumah dan memasak untuk Shaka, walaupun sebenarnya Shaka mulai jarang berada di rumah. Menurut penuturan Bi Inah, masakan yang dibuatnya pun sering tak tersentuh. Entah Shaka makan di luar atau malah melewatkan jam makannya. Rasanya Zaza ingin marah. Menyeret pulang sang putra ke rumahnya agar bisa diawasi. Namun, Shaka selalu menolak.

Selesai berkonsultasi, Zaza kembali ke ruangan di mana sang putra dirawat. Lembut, Zaza membelai rambut hitam kelam milik Shaka. Walau Shaka tak terlahir dari rahimnya, tapi Zaza sangat menyayanginya. Darah sang kakak--Ayesha, yang sama dengannya mengalir juga dalam tubuh Shaka. Dari Shaka-lah dirinya belajar menjadi seorang ibu, sebagai bekal mendidik anak kandungnya sendiri.

Zaza memfokuskan atensinya pada fisik sang putra. Lima bulan kepergian Rara telah banyak mengubah putranya. Kantong hitam di bawah mata, tubuh kurus yang kini pesakitan, serta rambut-rambut di tubuhnya yang tumbuh lebat tak terawat. Semua itu tanda ketidakpedulian Shaka kepada dirinya sendiri. Padahal selama ini dia begitu menjaga fisiknya. Walau tidak setiap hari berolahraga, tapi minimal seminggu tiga kali Shaka akan ke tempat gym. Dan, dirinya suka bercukur setiap hari.

"Apa kita terlalu keras kepadanya? Sehingga Shaka menjadi begini, Mas."

Bukan hanya Zaza yang bersedih, sebagai ayah kandung, Atha pun tak kalah berduka melihat kondisi sang putra. Lelaki kecilnya yang kini dewasa, telah salah langkah dan sekarang harus menerima hukumannya. Rara hanyalah manusia biasa, yang bisa sakit hati dan memilih pergi. Menurut para orang tua, keduanya butuh waktu sendiri-sendiri untuk saling menegaskan posisinya masing-masing. Apakah pernikahan itu tetap bisa berlanjut atau cukup sudah sampai di sini.

"Apa sebaiknya kita beritahu saja keberadaan Rara kepada Shaka, Pah? Mama khawatir melihat kondisi Shaka dari hari ke hari. Dia seperti raga tanpa nyawa yang berjalan tak tentu arah."

Atha menarik napas dalam-dalam. Beban di pundaknya terasa berat. Dirinya dan Zaza telah mengetahui keberadaan Rara dari informasi yang disampaikan oleh Milea dan Rayhan. Mereka telah berbaik hati memberitahu posisi putrinya berada. Tentu dengan syarat, Atha maupun Zaza tidak akan memberitahu Shaka selama Rara tak menginginkan bertemu dengannya, dan itu amanah yang berat. Sebagai laki-laki, Atha tahu seberapa penting sebuah amanah harus ditunaikan.

"Aku akan bicara dengan Shaka setelah dia siuman."

Zaza mengangguk. Walau tak tahu apa yang akan dibicarakan kedua lelaki--ayah dan anak itu, tapi Zaza tak bertanya. Dia terbiasa percaya, Atha bisa diandalkan untuk mengatasi setiap masalah dalam rumah tangga mereka.

Tidak lama cairan infus Shaka habis. Zaza pamit keluar untuk memberitahu perawat sekaligus dirinya ingin membeli makan malam di kantin. Menjaga orang sakit bukanlah hal yang mudah, kecemasan dan rasa sedih selalu mendominasi sehingga mereka tetap harus menjaga kondisi tubuh dengan makan tepat waktu walaupun kini sedang berada di rumah sakit.

Lima menit setelah perawat pergi dari ruangan Shaka, lelaki itu terbangun.

"Ternyata aku masih hidup," ucapnya sambil tertawa sumbang.

"Jadi kamu ingin mati?" tanya Atha sarkas.

"Aku lelah. Aku merindukannya. Jika dengan pergi dari dunia ini bisa mengurangi rasa sakitnya, mengapa tidak?"

"Pulanglah ke rumah kita dan Papa akan memberimu informasi tentang kondisinya." Shaka menoleh cepat, dirinya paham siapa dia yang dimaksud oleh sang papa. "Hanya kondisinya, bukan keberadaannya. Kamu tahu seberapa penting sebuah amanah harus ditunaikan? Dan Papa sedang melakukan itu."

Shaka tetap bergeming pada posisinya, memandang ke arah Atha. Saat itulah, Atha dapat melihat ada sedikit binar di mata sayu itu yang mulai hidup. "Kamu pernah dengar bahwa wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik. Allah maha adil dengan menghendaki pasangan suami istri itu sekufu. Rara wanita yang baik, maka jadilah kamu manusia yang juga baik. Jangan hanya bisa marah dengan keadaan. Jika kamu sadar, keadaan ini kamu yang menciptakan. Ini buah dari kebencian yang pernah kamu simpan dalam hati. Selain baik, Rara juga seorang yang tak mudah berputus asa. Dengan gigih dia berhasil membuktikan, bahwa dirinya tidak bersalah. Jadi, Papa harap kamu pun memantaskan diri menjadi lelaki yang kuat. Bukan malah terpuruk seperti sekarang bahkan memilih mati sebagai jalan keluar."

Tak butuh waktu lama untuk berpikir, Shaka segera mengiyakan permintaan Atharizz. "Baiklah, aku akan pulang ke rumah Papa."

Atha tersenyum sambil mengelus lengan sang putra. "Pilihan yang tepat, Son."

.
.

Alhamdulillah, BPI update.
Semoga kalian suka.
Boleh spam next, biar Olif makin semangat nulis dan update cerita ini ya.. 😅
Dan, selalu tinggalkan jejak vote kehadiran kalian.

Terima kasih
Jazakumullah khair
💜❤💜

Tegal, 09092021

(Bukan) Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang