BPI [57]

2.2K 172 9
                                    

"Arshaka Hamizan Erlangga."

"Salim Al Ghiffary Zuhdi."

Dua orang lelaki itu saling berjabat tangan dan memperkenalkan nama lengkap masing-masing. Dari nama dan penampilannya, Shaka menebak jika lelaki itu adalah seorang ustadz.

"Ustadz Salim merupakan salah satu pengelola Yayasan Pondok Pesantren Al Kautsar. Saat ini beliau berencana membangun sebuah ponpes juga di salah satu kota kecil di pesisir pantai utara Jawa. Papa harap kamu bisa membuatkan rancangan bangunan untuk pondok pesantren yang akan dibangun tersebut."

Tepat, panggilan yang disematkan papanya ketika menyapa nama sang tamu menunjukkan siapa dia. Perkiraan Shaka tidak meleset. Dia mulai paham ke arah mana perkenalan ini, tapi yang tetap diyakininya bahwa itu bukan tujuan utama sang papa. Pasti ada kepentingan lain yang menjadi prioritas papanya. Shaka pun menyanggupi. Mereka saling bertukar kontak dan janji dalam waktu dekat Shaka akan berkunjung langsung ke ponpes untuk membicarakannya lebih serius.

Perbincangan mereka terus berlanjut. Yang Shaka baru tahu bahwa sang papa kini rutin mengikuti kajian dua mingguan di ponpes Ustadz Salim. Sabtu pekan kedua dan keempat jadwalnya. Rupanya Atha sengaja mulai mengurangi aktivitasnya di rumah sakit. Selain karena masa pensiun yang hampir tiba, juga karena menurutnya usia di atas setengah abad paling tepat dihabiskan untuk sering berkumpul dengan orang-orang shaleh sambil mendekatkan diri kepada Tuhan. Walaupun jika sejak muda sudah berusaha mendekatkan diri tentu juga lebih baik.

Namun, menurut info yang barusan didengar, selama bulan Ramadhan ini masjid ponpes dibuka untuk umum setiap hari saat kegiatan kuliah Ashar hingga buka puasa bersama. Pihak ponpes menyediakan takjil gratis dan setiap hari Jumat ditambah dengan makanan berat khas indonesia, yakni nasi lengkap dengan lauk pauknya. Dalam diam, Shaka mengirim sejumlah uang melalui rekening yang tercantum di brosur milik yayasan.

"Jadi, kapan Papa akan menepati janji?" todong Shaka begitu mereka dalam perjalanan pulang ke rumah.

Atha melirik ke arah Shaka yang sedang mengemudi dan tersenyum ke arahnya. "Sejak kapan kamu tak percaya kepada Papa?"

Shaka bungkam. Yang dia butuhkan saat ini adalah jawaban, bukanlah pertanyaan yang menyudutkan. Sebagai anak, Shaka tahu papanya bukan orang yang ingkar janji. Namun, dengan terus menunda-nunda seperti yang saat ini Atha sedang lakukan seolah menyulut emosi ketidaksabarannya.

"Papa sudah kirim video ke surelmu." Atha lalu menyimpan ponsel yang barusan dikeluarkannya ke dalam jas. Ruapanya, barusan dia mengirim video kepada Shaka.

"Thank's, Pah."

Begitu sampai di kamarnya, Shaka segera membuka macbook-nya. Menurutnya, layar ponsel terlalu kecil untuk melihat sosok yang telah dirindukan sejak lama. Begitu video terunduh, Shaka bisa melebarkan senyumnya.

Dalam video yang sedang dia tonton, terlihat Rara sedang menghias cup cake bersama anak-anak. Tawa lebar dan suara yang begitu dirindukannya, terdengar merdu.

"Hei, apa yang kau lakukan. Bukan begitu cara menghiasnya. Tapi begini." Rara lalu terlihat mencolek ujung hidung gadis kecil itu dengan krim lalu selanjutnya mereka larut dalam tawa. Tawa Rara dan anak-anak itu turut membuat Shaka mengikuti ekspresi yang sama.

"Kak Rara, Om ganteng dateng." Seorang gadis kecil berjilbab pink berteriak sambil tangannya menunjuk ke arah samping.

Deg!

Tangan Shaka terkepal otomatis. Dia tak rela jika Rara dekat dengan laki-laki selain dirinya. Rara masih istri sahnya, dan Shaka berhak cemburu. Jika bisa, dia bahkan ingin melarang Rara menemui laki-laki itu. Namun, yang dilihat selanjutnya adalah Rara yang kemudian menoleh ke arah sang lelaki sambil tersenyum lebar. Sinar matanya turut berbinar cerah. Namun sayang, Shaka tak bisa melihat rupa yang katanya 'Om Ganteng' itu. Hanya secuil bagian belakang tubuhnya saja yang terlihat. Dan video mati, durasinya berakhir saat itu.

Arloji itu.

Shaka merasa pernah melihatnya, tapi di mana. Dia lupa. Namun, satu petunjuk yang Shaka dapat dari video itu, yaitu bahwa Rara kini berada di salah satu cabang Rumah Yatim Indonesia. Shaka hanya perlu mencari orang dalam, dan mendapatkan info titik pasti keberadaannya.

* * *

"Sudah yakin dengan keputusan ini?"

Sang lawan bicara mengangguk lemah. Hatinya masih bimbang, tapi tak ingin terus menggantungnya dalam ketidakpastian.

"Ya, aku tak mungkin terus menggantungnya dalam ketidakpastian. Aku ingin dia bahagia dengan cara melepasnya, karena sejak dulu aku bukanlah kebahagiaannya. Aku sumber rasa sakitnya. Aku terus membuatnya kehilangan orang-orang yang disayanginya."

"Dari yang kudengar, dua minggu yang lalu dia kembali dirawat."

Sang lawan bicara tampak terkejut hingga mulutnya sedikit terbuka. Matanya tampak meredup, tapi kata hatinya terus menguatkan bahwa ia tak boleh luluh. Keputusan ini yang menurutnya terbaik.

"Tapi, jangan kau pikirkan. Itu akibat dari kesalahannya sendiri. Dia pantas mendapatkannya." Dia lalu mengambil amplop coklat itu beserta amplop motif bunga yang tampak cantik. "Begitu sampai, akan segera kusampaikan kedua surat ini."

"Makasih."

.
.

Alhamdulillah, BPI update di awal Oktober.
Maaf membuat kalian menunggu, dan terima kasih buat yang selalu setia menanti.

Selalu tinggalkan jejak kehadiran dengan vote & komentar ya.. 😀

Jazakumullah khair 😘

Tegal, 01102021

(Bukan) Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang