BPI [22]

1.9K 138 1
                                    

Menjelang waktu makan siang, Rara belum juga bertemu Shaka. Untuk menanyakan keberadaannya melalui ponsel, dia pun merasa enggan. Sakit di hatinya masih belum pulih, atau entah akankah bisa pulih atau tidak? Ibarat kaca, ketika pecah maka tak akan bisa utuh kembali. Hanya besarnya rasa cinta dan ajaran taat kepada suami yang saat ini dipegangnya teguh. Harapan membaiknya hubungan mereka kelak, membuatnya tak ingin menyerah saat ini.

Sejak lama, Rara telah menganggap Syilla seperti adik permpuannya sendiri. Meninggalnya Syilla bahkan menorehkan luka yang mungkin sama perih dengan yang dirasakan oleh Shaka. Rara juga sempat menyalahkan dirinya sendiri, tapi dia percaya kepada ucapan sang bunda, bahwa dia tidak bersalah. Mama Zaza juga tidak pernah menyalahkannya.

"Kehidupan dan kematian adalah takdir mutlak Tuhan, tak bisa kita untuk memajukan atau memundurkan waktunya walau sesaat," nasihat bunda saat itu.

"Tapi, kalau aja Rara tahu rencana Syilla yang akan datang sendirian tengah malam, Rara pasti akan mencegahnya, Bun."

"Nah, itulah kenapa Rara nggak bersalah, karena Rara nggak tahu rencana Syilla."

"Tapi, Bun ... seharusnya Rara bisa mencegah penjahat itu untuk melukai Syilla, harusnya penjahat itu melukai Rara saja, Bun, jangan Syilla. Rara nggak becus menjaga seseorang yang sudah Rara anggap sebagai adik, Bun. Rara salah," air matanya turut mengalir bersama terlisankannya kalimat penyesalan itu.

"Nggak, Sayang ... Rara nggak salah. Itulah takdir, Sayang. Malaikat tidak akan pernah salah melakukan perintah Tuhan. Mungkin Tuhan menyayangi Syilla, sehingga dialah yang terlebih dulu diminta untuk menghadap-Nya. Jika pun ada yang harus disalahkan, tentunya para penjahat itu. Bukan kamu."

Kalimat-kalimat serupa sering bunda ucapkan untuk menghilangkan rasa bersalahnya saat itu. Dia meyakini, bahwa setiap ucapan bunda adalah benar. Selama ini bunda tak pernah berbohong kepadanya. Jadi, Shaka pasti telah salah menuduhnya. Suaminya hanya masih butuh waktu untuk menerima kehilangan Syilla.

* * *

"Mbok, boleh saya minta tolong?" tanya Rara saat sore dia minta ditemani jalan-jalan di area persawahan. Pamandangan hijaunya persawahan yang membentang di kiri dan kanan jalan, membuat mata dan pikirannya lebih fresh.

"Silakan, Dayu. Apa yang bisa mbok bantu?"

"Tolong mbok dan bli Surya merahasiakan kejadian sebenarnya selama kami di sini. Jika mama Zaza tanya, tolong ceritakan hal yang baik-baik saja. Aku tidak ingin mbok berbohong, cukup katakan bahwa kami berbahagia di sini layaknya pengantin baru yang tak perlu diceritakan aktivitasnya. Aku memang bahagia saat malam itu mas Shaka mengajakku jalan-jalan, Mbok. Selain itu jangan ceritakan apa pun lagi."

Rara melihat mbok Galuh tampak diam sesaat, mungkin dia sedang berpikir. Namun, akhirnya dia mengangguk.

"Baik, Dayu. Saya akan melakukannya." Mbok Galuh kembali terdiam sebelum melanjutkan penuturannya. "Sebenarnya selama ini mbok mengenal Den Shaka itu orang yang baik dan hangat dalam keluarga. Saat di sini, mbok bisa lihat Non Syilla juga lebih terbuka saat bersama den Shaka, dibanding yang lainnya, bahkan dengan kedua orang tuanya sendiri. Jadi, mbok juga kaget saat mengetahui kondisi dayu Rara pagi itu. Dayu, yang sabar, semoga sikap den Shaka segera kembali menghangat seperti dulu."

Rara menanggapi penuturan itu dengan tersenyum. "Aamiin, makasih, Mbok."

Selesai jalan-jalan sore, saat balik menuju homestay, Rara mendapati Shaka sudah berada di sana. Dia sedang duduk di teras rumah sambil mengetik sesuatu di macbook-nya. Rara menghampiri, lalu duduk di kursi rotan kosong sebelah Shaka. Jarak mereka hanya dibatasi oleh meja bundar kecil yang terdapat sebuah vas bunga berisikan bunga mawar dan secangkir kopi panas yang masih mengepul uapnya.

"Aku ingin bicara," ucap Rara memulai.

"Silakan," balas Shaka singkat tanpa melirik ke arahnya. Kehadiran Rara seolah tak digubrisnya, fokus netra berwarna gelap itu masih ke arah layar persegi di pangkuannya.

"Aku ingin meminta maaf, jika dalam kematian Syilla, akulah yang menurut mas sebagai penyebabnya."

"Maafmu tak akan bisa membuatnya hidup kembali," jawab Shaka sarkastis.

"Maafku memang tak akan bisa membuatnya hidup kembali, tapi aku harap hatimu akan lebih tenang. Asal mas tahu, aku sama sedihnya saat kejadian meninggalnya Syilla."

"Tapi sebagai kakak, aku lebih merasa kehilangan."

Rara memejamkan mata sejenak. Jika pembicaraan mereka terus seperti ini rasanya mereka tidak akan berada di satu titik temu. Sebaiknya dia mengalah saat ini.

"Baiklah, apakah ada yang bisa membuat mas memaafkan aku? Akan aku lakukan hal itu."

Mendengar tantangan Rara, Shaka mengalihkan fokusnya. Mata tajamnya tepat menatap ke arah netra coklat Rara. Mengintimidasi, seolah-olah dengan tatapan itu dia bisa mengoyak sosok dihadapannya.

"Kau ingin mendapat maaf dariku?"

Ditatap setajam itu oleh Shaka, hatinya sedikit gentar. Namun, dia telah bertekad tak akan mundur. Pernikahan ini bukan lelucon sesaat, yang bersatu dengan akad lalu berpisah dengan cerai, apalagi dalam masa yang sekejap kedipan mata. Pernikahan ini telah menjadi impiannya sejak lama.

Rara tak menjawab dengan lisan, dia hanya menganggukkan kepala sebagai tanda setuju.

"Pertama, bujuk mama agar kita bisa segera tinggal di rumah kita sendiri. Kedua turuti seluruh permintaanku, apa pun itu," tantang Shaka sambil tersenyum smirk.

Berulangkali Rara menghembuskan napas perlahan. Menetralisir resah yang mulai menyergap dirinya. Bahkan tangannya pun mulai mengalami tremor, akibat rasa cemas berlebih yang menyerangnya saat ini.

Shaka melihat reaksi Rara. Dia tahu bahwa Rara pernah mengalami gangguan kecemasan berlebih saat kecil. Namun, itu tak akan mempengaruhinya. Dia tidak akan mundur. Dia akan tetap berada pada tujuannya, menyakiti Rara.

"Baiklah, aku turuti permintaan, Mas," jawab Rara setelah mampu sedikit menetralisir rasa cemasnya.

"Bagus. Bersiap-siaplah, besok pagi kita pulang ke Jakarta. Sebelum pulang kita akan membeli oleh-oleh untuk keluarga kita."

Shaka beranjak dari duduknya, pergi meninggalkan Rara seorang diri di teras rumah yang mulai menggelap. Samar suara azan Maghrib berkumandang. Rara segera beristighfar dalam hati, berdoa meminta ketenangan hati. Semoga keputusan ini adalah langkah yang tepat untuk mulai mengambil hati Shaka, harap Rara di dalam hati.

.
.

Alhamdulillah, Rara & Shaka
Kembali update malam ini
😄😍

Semoga kalian suka 😙

Jangan lupa goyangkan jari
dengan memberi
Vote & Komentar 😉

😁 Terima kasih 😀

Tegal, 29012021

(Bukan) Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang