BPI [45]

2.2K 167 27
                                    

"Ka, Rara masuk rumah sakit."

Kalimat sang mama terus terngiang dalam benak Shaka. Awalnya dia menjanjikan akan pulang esok hari pada jadwal penerbangan pertama. Namun, jadwal temunya dengan klien yang merupakan pimpinan tertinggi Villitrox Company membuatnya mengurungkan niat.

Villitrox merupakan perusahaan Malaysia yang masuk dalam daftar 100 perusahaan terbaik Asia yang kini sedang melakukan ekspansi perusahaan dan Shaka dipercaya untuk merancang desain bangunan cabang perusahaan baru mereka. Nilai kerjasama mereka tidak main-main, dan Shaka harus profesional.

"Malam ini gue nginep di KLIA," ucap Shaka pada Jeje.

Pertemuan hari itu lalu ditutup dengan acara makan malam bersama. Akan memakan waktu lama jika dia menginap di hotel, maka selesai dinner dan bersiap-siap, Shaka memutuskan langsung berangkat ke bandara.

"Jam berapa pesawatnya flight?"

"Jam 6 pagi," jawab Shaka sambil memasukkan barangnya ke dalam koper. "Tapi menurut info, counter check in mulai dibuka jam setengah 4 pagi."

"Ok, jangan lupa bawa jaket. Suhu udara di ruang tunggu bandara kalau malam dingin banget."

"Ok, Bro. Makasih."

Jeje lalu mengantar Shaka hingga ke Kuala Lumpur International Airport (KLIA). Beruntung di hari keempat ini pekerjaan mereka sudah mencapai target 90%, sisanya Jeje yang akan menghendel.

"Lo udah yakin kan, kalau anak yang Rara kandung itu anak lo?" tanya Jeje saat diperjalanan.

Shaka melirik, "Ya, gue yakin. Kalau gue nggak yakin, nggak mungkin gue akan secemas ini."

Jeje meletupkan tawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mulai sekarang, percayai dia. Jangan sampai lo menyesal di kemudian hari. Rara wanita yang baik, gue yakin itu. Dia terlihat tulus dan begitu mencintai lo. Gue rasa lo juga mencintainya. Jangan tutupi lagi perasaan lo."

"Terima kasih nasihatnya. Gue tau hal terbaik apa yang harus gue lakuin."

Tak ada gunanya menjelaskan pada Jeje, pikir Shaka. Baginya bukti itu telah jelas, Rara lah penyebab kematian adiknya, dan hal ini belum terbantahkan.

* * *

"Hai, Ra. Gimana kabarnya?" tanya Yusuf ketika jarak antara dirinya dan Rara hanya tinggal selangkah.

"S-sudah lebih baik, Kak. Alhamdulillah," jawab Rara sedikit terbata-bata. Berusaha keras dia menyembunyikan raut gugup dan cemas yang kini sedang melandanya.

"Nak Yusuf dapat kabar dari siapa kalau Rara dirawat di sini?"

"Tadi saya ketemu Om Rayhan. Dia bilang kondisi Rara drop dan harus rawat inap di sini."

"Lho, memangnya ketemu di mana?"

"Kebetulan saya sedang gantian jaga sepupu yang baru aja melahirkan. Dia juga dirawat di rumah sakit ini."

"Oh ... begitu. Wah ... jadi merepotkan, Nak Yusuf ya. Mana pake bawa buah dan bunga segala."

"Nggak pa-pa. Sama sekali tidak merepotkan jika menyangkut tentang Rara."

Yusuf menyerahkan parcel buahnya kepada Milea dan menaruh buket bunganya di atas ranjang, tepat di samping Rara.

"Semoga kamu suka."

"Ma-makasih, Kak," Rara melirik bunga krisan merah di sampingnya lalu berkata pada sang Bunda, "Bun, tolong bunganya taruh di meja aja ya."

Milea tersenyum lalu mengambil bunga itu dan menaruhnya di meja bundar depan sofa. Tempat untuk para tamu yang datang menjenguk.

"Ra, Bunda tinggal sebentar ya. Mumpung ada Yusuf yang jagain kamu di sini."

"Bunda mau ke mana?" tanya Rara cemas.

"Bunda ingin beli wedang jeruk di kantin. Kamu mau nitip sesuatu, Sayang?"

Rara menggeleng. Dia tak membutuhkan apa pun. Saat ini dia hanya tak ingin ditinggal berdua bersama Yusuf.

"Silakan Tante. Yusuf akan jaga Rara di sini," ujar Yusuf sambil menyunggingkan senyum.

"Ya udah, Bunda keluar dulu ya. Makasih, Nak Yusuf."

Rara gelisah saat ditinggal hanya berdua dengan Yusuf. Namun, rasanya egois jika melarang sang Bunda yang ingin membeli sesuatu untuk kebutuhan dirinya sendiri.

"Gimana kandungan kamu? Baik-baik saja?"

"Sejak kapan Kak Yusuf tahu aku sedang mengandung?" Bukannya menjawab, Rara justru memberanikan diri untuk bertanya.

"Apa yang sudah kamu ketahui tentang aku, Ra?" Yusuf balik bertanya.

Yusuf dan Rara saling melempar pertanyaan untuk memancing informasi satu sama lain.

"Sepertinya aku tak perlu menjawab. Atau ada hal lain lagi yang belum aku ketahui tentang Kakak?" Rara masih berusaha sopan dengan tetap memanggil Yusuf dengan sebutan kakak.

"Baiklah, silakan kamu bertanya satu hal yang paling ingin kamu ketahui, dan aku akan menjawab jujur. Ingat! Hanya satu pertanyaan yang paling ingin kamu ketahui."

Sebuah kesempatan bagus telah Rara dapatkan. Dia tak akan menyia-nyiakan hal ini. Di bawah selimut yang menyelubungi, tangannya waspada. Rara mengubah posisi duduknya lebih tegak dengan mata yang lurus tepat mengarah ke sosok Yusuf.

"Kenapa Kakak membunuh Syilla dan menjebakku sebagai pelakunya?"

Yusuf tertawa kencang. Dia tak malu untuk meluapkan ekspresi itu di hadapan korbannya. Yusuf tak mungkin berbohong, karena dia telah berjanji akan jujur menjawab pertanyaan Rara.

"Itu dua pertanyaan, Ra. Tapi, karena aku sedang berbaik hati, maka aku akan menjawab keduanya."

.
.

Alhamdulillah, update update update 😄
Sedikit, sih. Tapi, nggak pa-pa yach 😅
Semoga kalian suka.

Yuk ramaikan lapak ini dengan vote & komentar. Boleh juga follow IG author ya: Oliphiana_lia

Terima kasih
Jazakumullah khair 😙😍😘

Tegal, 08062021

(Bukan) Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang