BPI [30]

2.1K 151 6
                                    

"Ka, lo masih inget tanda orang munafik?" tanya Jeje sambil memperhatikan sahabatnya yang tampak kacau malam ini. "Saat berjanji, mengingkari. Saat dipercaya, dia berkhianat. Itu dua dari tiga tanda orang munafik."

Setelah membuat Rara menangis, Shaka kini justru kabur. Menumpang di kamar sahabatnya. Meninggalkan Rara, yang bahkan berusaha tersenyum saat dilihatnya suami tercintanya ini keluar dari kamar mandi.

Shaka masih bergeming, terlalu paham tabiat Jeje yang sedang bersiap menasihatinya. Sahabat terbaik bukanlah mereka yang hanya selalu mendukung semua tindakan kita, tapi juga dia yang sudi menegur saat kita melakukan kesalahan, inilah pendapat Shaka tentang sahabat terbaik.

"Sejak lo menjabat tangan Bokapnya Rara, saat itu tandanya lo udah berjanji bakal mengambil alih tanggung jawab Bokapnya. Melindungi dan menjaga putrinya. Mereka percaya, lo bisa membuat Rara bahagia," Jeje menjeda ucapannya sejenak lalu berdecih, "tapi, nyatanya lo malah mengingkari janji ijab qobul itu dan menyalahi kepercayaan orang tuanya. Bukannya membahagiakan, lo lebih milih melihara kebencian dan menyakitinya."

Bohong, jika saat mendengar ucapan Jeje, Shaka tidak tersinggung. Tapi untuk mengelak, dia tak bisa, karena memang itu yang dia lakukan.

"Kali ini nggak usah ikut campur urusan gue. Cukup lo fokus sama Hana. Perhatiin istri lo yang lagi hamil itu. Rara sekarang milik gue. Jadi, terserah gue mau ngelakuin apa pun," ujar Shaka ketus.

Jeje hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum asimetris. "Gue cuma peduli sama sahabat yang selama ini gue kenal dia sebagai orang baik. Sebelum lo menyesal, please ... hentikan semua kebencian itu!."

Shaka tak menggubris lagi ujaran Jeje. Dia lebih memilih membaringkan tubuh di atas kasur kamar Jeje. Membungkus tubuhnya dengan selimut dan berusaha memejamkan mata.

* * *

Tepat pukul tujuh malam, Shaka dan Rara tiba di rumah mereka sendiri. Lelaki berusia lebih dari tiga puluh tahun itu, segera ke kamar dan membongkar isi kopernya. Tak lupa, sebelum itu dia telah memerintahkan Rara memasakkan makan malam. Tak peduli Rara lelah atau tidak, dia ingin memakan masakan istrinya.

"Aku mau bersihin badan dulu. Setelah itu, pastikan saat aku turun makan malamnya udah siap!" perintah Shaka.

Kejam, ya Shaka harus kejam. Dia ingin membuat orang yang telah menjadi penyebab kehilangannya, turut menderita.

Saat membongkar isi kopernya, Shaka memisahkan antara pakaian yang masih bersih dan yang sudah terpakai. Tak sengaja, netra matanya menatap hoodie dan training yang kemarin malam dipakai oleh Rara. Didekatkannya pakaian itu pada indra penciumannya. Harum aroma tubuh Rara yang manis, masih terhirup kuat. Aroma yang sama saat dengan tiba-tiba Rara memeluknya.

Shaka menyesal, harusnya dia tak hanya membelikan sepotong gamis dan jilbab saja saat itu. Seharusnya dia juga membiarkan Rara membeli sekadar daster atau piyama untuk tidur di malam itu, bukan malah membolehkannya menggunakan kaos dan trainingnya yang justru membuat perasaannya tak menentu. Jejak gadis itu kini melekat di barang miliknya. Sungguh, dia tak suka.

Tak butuh waktu lama, Shaka segera mencampakkan pakaian itu ke dalam keranjang baju kotor. Bersegera di masuk ke kamar mandi, membersihkan tubuh dan segala jejak Rara yang menempel di tubuhnya.

Selesai salat Isya, barulah Shaka turun ke lantai bawah sambil membawa keranjang pakaian kotor. Melewati meja makan, telah tersaji makanan di atasnya. Terlihat ada sup ayam, tempe mendoan, dan sambal kecap.

"Selesai makan, cuci pakaian kotornya malam ini," perintahnya saat berpapasan dengan Rara yang sedang membawa piring ke meja makan.

"Kalo besok pagi aja gimana, Mas? Aku capek," jawab Rara lirih.

(Bukan) Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang