"Kakak, please!"
"Hm..."
"Ayolah, kakak coba aja dulu. Kak Rara itu kan cantik dan baik. Dia juga wanita yang lembut, aku yakin dia tipe wanita yang mudah Kak Shaka sukai. Kakak sayang aku kan? Aku juga sayang kalian, aku akan senang jika Kak Rara bisa menjadi Kakak iparku," pinta Syilla dengan wajah memelas. Dia sudah bertekad akan berusaha menyatukan dua orang yang dia sayangi, Shaka dan Rara.
"Please, Kak. Mau ya? Mau?" Lagi Syilla merayu kakaknya. Dia tidak akan menyerah sampai keinginannya terwujud.
"Rara memang cantik, baik, lembut. Dia juga jago memasak, tetapi kakak belum siap menikah. Jika dia menikah dengan Kakak, dia tidak akan bahagia. Kamu tahu kan, Kakak masih ingin fokus pada karir Kakak," jelas Shaka tanpa menolak ataupun mengiyakan.
"Lalu kapan Kakak siap? Inget umur loh, Kak. Kakak itu sudah 30 tahun. Sudah saatnya Kakak berpikir untuk berkeluarga. Keberadaan istri itu juga membawa rezeki tersendiri loh buat Kakak. Bisa aja setelah menikah justru karir Kakak semakin bagus, karena ada istri yang mendukung juga mendoakan. Aku juga sudah ingin memiliki keponakan yang lucu. Kakak bisa mencoba dekat dengan Kak Rara dulu. Kalau cocok kalian bisa tunangan dulu, baru setelah itu berpikir tentang pernikahan. Tidak perlu terburu-buru." Syilla masih tidak berputus asa meyakinkan kakaknya.
"Kamu ini ternyata lebih cerewet dari papa dan mama ya, Dek," ujar Shaka sambil tertawa kecil. Adiknya ini memang seorang yang tidak pantang menyerah.
"Baiklah, akan Kakak pikirkan, tetapi Kakak tidak mau berjanji untuk mengiyakan. Ok?!" Lanjut Shaka yang akhirnya mengalah.
Shaka sangat menyayangi Syilla. Sejak dulu sulit baginya menolak permintaan sang adik. Dia terbiasa memanjakan Syilla dan memenuhi segala keinginannya, asal itu adalah sesuatu yang menurutnya baik untuk Syilla. Dan baru kali ini, dia merasa permintaan Syilla menurutnya cukup berat. Walaupun sebenarnya menyukai Rara, memang tidaklah sulit. Namun, dia justru merasa tidak pantas jika memberi harapan yang belum tentu jelas kepada gadis itu. Dia takut tidak bisa membahagiakan Rara, karena fokusnya saat ini masih kepada karirnya.
Mendengar penuturan Shaka, jelas membuat Syilla bahagia. Walaupun belum mau menerima, tetapi setidaknya kakaknya mau untuk mempertimbangkan permintaannya. Dia pastikan akan terus membujuk Kak Shaka, sampai Kakaknya mau berkata iya.
"Terima kasih, Kak. Jangan lama-lama berpikirnya. Menyukai seseorang itu cukup pakai hati, tidak perlu terlalu pusing dipikir pakai otak. Aku yakin, Kakak tidak akan menyesal jika mau menjadikan Kak Rara sebagai istri kakak." Syilla memeluk sang Kakak erat sambil tersenyum. Shaka pun balik memeluknya erat sambil mengelus puncak kepala Syilla dengan sayang.
Di saat Syilla dan Shaka membicarakan tentang Rara, Rara sendiri sedang menolak seorang laki-laki yang menyatakan cinta kepadanya.
"Maaf, Kak. Aku nggak bisa. Aku lebih nyaman dengan hubungan kita sekarang. Cukup sebagai teman, aku tidak bisa menganggap Kakak lebih dari itu. Aku yakin Kakak bisa mendapatkan wanita yang lebih baik dari pada aku." Dengan sopan dan lembut dia berusaha menjelaskan. Namun, selembut apapun sebuah penolakan, tetaplah meninggalkan luka bagi sang lelaki bernama Yusuf itu.
"Bagiku hanya kamu lah wanita terbaik, Ra. Bukan orang lain." Yusuf mulai frustasi meyakinkan Rara, betapa dia mencintai gadis itu.
"Apa ada laki-laki lain yang kamu harapkan? Apa kamu mencintainya?" tanya Yusuf mencari kebenaran. Dia pernah melihat Rara menatap intens pada seseorang. Mata gadis itu jelas memancarkan kekaguman dan binar cerah saat memandangnya. Mata seorang pecinta, seperti dirinya saat memandang Rara.
Ditanya seperti itu oleh Yusuf, Rara bingung harus menjawab apa. Haruskah dia jujur atau berbohong, tetapi dia tahu jujur lebih baik dari pada berbohong. Toh mereka tidak saling mengenal, jadi nggak apa-apa kan kalau berkata jujur? Pikirnya berpendapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Pernikahan Impian
Romance"Menikahimu adalah mimpiku sejak dulu. Saat mimpi menjelma nyata, ternyata bukan surga yang kupijak, tetapi laksana neraka yang aku masuki." (Azzahra Putri Adhiatama) "Terkadang kita salah menerjemahkan sebuah rasa, karena begitu tipis batas antara...