Dari manik matanya, Sakha mengamati seluruh makanan yang kini terhidang. Di atas meja berbentuk persegi itu terhidang ikan gurame bakar, cumi asam manis, cah kangkung, tempe goreng dan juga sambal. Dia memilih menu seafood, sesuai kesukaannya, karena juga tidak tahu pasti makanan kesukaan Rara. Namun, sejak lidahnya akrab dengan masakan Rara, entah kenapa ada yang kurang jika itu bukan dari masakan istrinya.
"Mau nambah nasi lagi? Mas baru makan sedikit loh," tawar Rara hendak menambah makanan ke piring Shaka.
"Nggak, aku dah kenyang," tolak Shaka.
Dia sudah tidak lagi berselera. Dia menginginkan hal lain, tapi tidak mungkin saat ini dapat terealisasi. Mereka masih harus berbelanja kebutuhan rumah terlebih dahulu.
Mendengar jawaban Shaka, Rara mengernyitkan alis. Apa Shaka sakit? Tidak biasanya dia hanya makan dalam porsi sedikit. Lalu siapa yang akan menghabiskan makanan ini? Sedangkan Rara juga sudah kenyang. Dia belum berselera makan, karena rasa cemas yang sejak pagi menghantuinya. Walaupun cemas, sebagian sudut hatinya meyakini, masih ada kebaikan dalam diri sang suami. Buktinya mereka masih bisa makan berdua siang ini dengan menu yang sama di restoran. Bukankah terlihat seperti pasangan normal lainnya?
"Mas, sisa makanannya dibungkus aja ya? Nanti bisa buat makan di rumah."
"Silakan aja dibungkus. Tapi, bukan buat makan kita. Kasih aja nanti ke kucing liar di sekitar rumah."
Rara mengangguk, itu lebih baik daripada mubazir tidak ada yang menghabiskan. Walau dia tidak tahu, apa benar di lingkungan tempat tinggalnya yang baru terdapat kucing? Dia sendiri masih asing dan belum kenal siapa pun di sana.
Setelah meminta pelayan untuk membungkuskan, mereka segera pergi dari sana menuju swalayan. Shaka mendorong troli dan Rara lah yang memilih bahan makanan dan keperluan apa saja yang nantinya dibutuhkan di rumah baru mereka. Keluar dari sana mereka membawa lima kantong kresek besar.
Tujuan mereka setelah makan adalah mushola. Suara azan duhur sudah berkumandang dari ponsel Shaka yang memang sengaja dipasang aplikasi pengingat waktu salat. Jadwal kerjanya yang padat, kadang bisa membuatnya melupakan waktu salat. Jadi, dia butuh pengingat agar tidak lalai melaksanan kewajiban utamanya sebagai seorang insan. Selesai salat mereka masih akan lanjut berbelanja keperluan lainnya.
"Ra, tunggu di sini sebentar. Aku mau taruh ini dulu di mobil."
Shaka segera berjalan mendorong troli mereka menuju basement, sedangkan Rara menurut saja. Sabar menunggu di sebuah kursi tunggu di dekat lift. Sambil menunggu, Rara memperhatikan seorang anak kecil laki-laki yang mondar mandir berlarian di depannya. Tampak begitu menggemaskan dan aktif. Tidak jauh darinya, seorang ibu menggendong anak balita perempuan berteriak memperingatkan sang anak lelaki agar berhati-hati.
"Sendirian aja, Mbak?" tanya sang ibu saat dia ikut duduk di samping Rara.
"Nggak, Bu. Sama suami. Ibu bertiga aja sama anak-anak?"
"Iya, suami saya kerja di kapal. Jadi, kalo ke mana-mana ya cuma sama anak-anak."
Rara memandang balita cantik dalam gendongan sang ibu. "Cantik banget anaknya, Bu. Boleh saya ikut gendong?"
"Boleh. Dia masih enam bulan. Namanya Gladys."
Begitu diizinkan, Rara segera mengambil handsanitizer dalam tas kecilnya dan membersihkan tangannya dengan cairan itu. Kulit balita masih sangat sensitif, jadi sebisa mungkin saat berinteraksi dengannya, Rara selalu membersihkan tangan terlebih dahulu. Sang ibu lalu mendekat, membantu mendudukan balitanya dipangkuan Rara.
"Hai, Dede Gladys. Cantik banget, sih. Tante Rara jadi gemes liatnya," ucap Rara sambil mengelus lalu menoel-noel pipi gembil Gladys. Inginnya dia bisa mencium, tapi takut jika sang ibu tidak berkenan.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Pernikahan Impian
Romance"Menikahimu adalah mimpiku sejak dulu. Saat mimpi menjelma nyata, ternyata bukan surga yang kupijak, tetapi laksana neraka yang aku masuki." (Azzahra Putri Adhiatama) "Terkadang kita salah menerjemahkan sebuah rasa, karena begitu tipis batas antara...