BPI [50]

2.5K 167 22
                                    

"Gue berhasil menemukan titik lokasinya!"

"Segera kirim!"

"Oke, kita langsung bertemu di sana. Sekarang!"

Begitu panggilan dengan Jeje terputus, Shaka segera mengecek room chat-nya, dan mendapati share location tempat di mana istrinya disembunyikan. Tak membuang waktu lama, Shaka segera meluncur ke lokasi dengan kecepatan penuh yang dia bisa. Sungguh seperti orang kesetanan. Dia menyesal, sangat menyesal. Sulung Atharizz Hamizan Erlangga itu, begitu takut jika sesuatu terjadi kepada Rara dan bayi mereka. Shaka tak mau itu. Namun, sejak pagi hatinya terlalu gelisah. Was-was tak menentu, seolah akan ada hal buruk yang terjadi. Shaka tak masalah jika itu menyangkut dirinya sendiri. Namun, jika hal buruk itu menimpa Rara dan bayinya, Shaka merasa tak akan sanggup. Penyesalannya akan semakin menggunung tinggi.

Setelah lebih dari dua jam kendaraan roda empat yang berlogo tiga berlian yang ditumpangi Shaka melaju, kini kendaraan itu berhenti tepat di sebuah rumah bergaya klasik dengan dominasi kayu sabagai material utamanya. Pun, terdapat dua tiang kayu besar yang terlihat koko menopang atap bagian luarnya. Kota Santri, di sinilah lokasi yang Jeje berikan kepadanya.

Dari luar kediaman itu tampak sepi tak berpenghuni. Namun, tanaman buah dan bunga yang tampak subur dan rapi menghiasi halaman depan rumah itu, seolah menandakan bahwa walaupun tak berpenghuni rumah itu tetap terawat baik.

"Rumah ini merupakan peninggalan Kakek Yusuf dari mendiang ibu kandungnya. Menurut info yang kudengar, ibunya menderita gangguan jiwa."

Pantas, anaknya pun seolah seperti itu. Memiliki mental yang buruk. Suara hati Shaka turut berasumsi.

"Ada ruangan bawah tanah yang dulunya digunakan sebagai tempat menyimpan anggur. Kakek Yusuf merupakan pecinta minuman berfermentasi itu. Dahulu, mereka bahkan memiliki kebun anggur di sekitar desa ini. Ketika Nenek Yusuf dikabarkan menderita leukimia, lahan itu lalu dijual untuk biaya pengobatan dan dibangun perumahan."

"Jadi, mereka ada di ruangan bawah tanah itu?" tanya Harist yang juga turut datang untuk menyelamatkan sang kakak.

"Ya, bisa jadi."

Shaka menyimpan sebilah pisau kecil di kaki kanannya lalu berujar, "Ayo, kita jangan buang waktu lagi. Aku ingin segera menemukan Rara."

* * *

Blam!

Bugh! Bugh!

Aaaahh!

Gelap. Tak ada cahaya yang bisa dilihat Rara karena matanya yang tertutup kain. Namun, suara gaduh akibat perkelahian dapat dengan jelas ditangkap oleh indra pendengarannya.

"Brengsek! Ternyata kau musuh dalam selimut." Rara mengenali suara itu. Shaka datang untuk menyelamatkannya.

"Hahaha ...! Kalian terlalu bodoh, sehingga lama menyadari itu."

Kembali suara gaduh terdengar lantang. Perkelahian masih terus terjadi di luar ruangan tempat dirinya kini disekap. Rara bergerak gelisah di atas ranjang. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Rara berusaha melepaskan ikatan di tangan dan kakinya. Morning sickness-nya belum reda sepenuhnya, sehingga selama tiga hari berada dalam kungkungan Yusuf, tak banyak yang bisa dilakukan untuk dirinya dan juga bayi dalam kandungannya. Saat hendak mengisi lambungnya dengan sumber makanan bergizi, Rara tak kuasa. Dia lebih sering memuntahkannya daripada benar-benar menyerap nutrisinya. Sejak pagi, perutnya pun terasa kram.

"Aaahh." Rara meringis saat tiba-tiba kontraksi menyerangnya kuat. Perutnya semakin sakit seperti diremas kencang. Tak sadar Rara menggigit bibir bawahnya hingga mengeluarkan darah segar.

"Help me, please!" lirih Rara meminta tolong. Tubuhnya lemas dengan keringat dingin yang sejak tadi membasahi. "Tolong."

Rara terus bergerak membuat seprai di ranjangnya semakin kusut tak berbentuk. Dia mencoba bangun, tapi begitu sulit. Perih terasa pada bagian tubuhnya yang terikat, tanda kulitnya yang lecet akibat simpul kuat yang Yusuf pasangkan untuk menahannya agar tak bisa ke mana pun.

"Aaaahh ...."

Cairan bening mulai meleleh dari kedua sudut matanya, kala Rara merasakan sesuatu mengalir di antara selangkangannya. Rara menggeleng keras. "Tidak! Please, bertahanlah, Baby! Ayah Shaka telah datang untuk menyelamatkan kita."

Dengan tangan terikat, Rara menyentuh bagian perutnya. Berusaha mengusapnya berkali-kali demi meredakan rasa sakit yang masih menunjam tajam di area itu. "Please, Baby! Bertahanlah!"

Air mata Rara semakin deras mengalir, sama seperti cairan merah yang masih terus terasa semakin banyak. Rara yakini kini cairan merah itu telah menodai seprai di bawahnya. Bukan tak tahu, Rara tak ingin kembali kehilangan. Apalagi kini janin itulah satu-satunya yang terus membuatnya bertahan untuk terlihat baik-baik saja selama ini. Buah cintanya dengan sosok yang sejak lama dicintainya begitu dalam.

Brak!

"Rara!"

Terdengar suara langkah kaki Shaka yang semakin mendekat ke arahnya. Rara bersyukur dalam hati lalu memanggil sang suami, cinta dan penyelamatnya.

"Mas." Walau sudah berusaha mengerahkan seluruh tenaganya, suara yang keluar dari tenggorokannya sangat lirih.

Rara merasakan gerak tangan sang suami melepas ikatan di tangannya, lalu beralih membuka penutup matanya. Mengerjap. Begitu matanya mendapatkan sumber cahaya, Rara menggelengkan kepalanya. Berusaha menyesuaikan dengan perubahan antara gelap ke terang. Namun sayangnya, hanya objek samar-samar yang bisa ditangkap oleh indra penglihatannya.

"Aaaahhh ...," kembali, rintih kesakitan lolos dari sekat kedua bibirnya. "Selamatkan bayi kita, Mas!"

.
.

Alhamdulillah, BPI bisa kembali update.
Maaf baru bisa sedikit kata, tapi semoga kalian suka dan tetap bisa menikmatinya.

Silakan tinggalkan jejak vote & komentar ya.

Terima kasih 😘
Jazakumullah khair

Tegal, 150821

(Bukan) Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang