BPI [9]

1.8K 124 13
                                    

Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, menampilkan keidahan suasana senja bersemburat jingga. Namun rasanya, Rara masih enggan untuk beranjak dari posisinya saat ini.

"Innalillahi wainna illaihi raji'un." Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah, dan kepada Allah jualah kami akan kembali.

Hal itu tercantum dalam Al Quran Surat Al Baqarah ayat 156. Saat ini Rara sedang berusaha memahami ayat tersebut. Belajar menerima ketetapan Tuhan dan ridha terhadapnya. Walaupun rasanya begitu berat, tetapi Rara tetap berusaha ikhlas melepas Syilla terlebih dahulu menghadap Sang Penciptanya.

Di depannya terdapat nisan bertuliskan nama Arsyilla Zahira Erlangga, sahabat yang sudah serasa saudara baginya. Sudah lebih dari sebulan, nisan itu ada di sana, dan Rara tidak pernah bosan mengunjunginya dan berdoa di depan makamnya.

Rara merasa berhutang budi kepadanya, karena Syilla telah menyelamatkannya saat dia hampir mendapatkan pelecehan seksual pada malam mengerikan itu. Bahkan karena dirinya, Syilla sampai kehilangan nyawanya. Berhari-hari dia hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri. Semua terjadi karenanya. Dialah penyebab semua kengerian ini terjadi.

Sayangnya, para preman itu belum bisa tertangkap sampai sekarang. Mereka begitu rapi, seolah kejadian malam itu memang telah direncanakan. Entahlah, Rara hanya bisa berdoa, suatu hari mereka akan tertangkap dan mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Sebelum kejadian itu, Rara pernah memberi kejutan kepada Syilla di hari ulang tahunnya. Saat itu juga tengah malam, tetapi malam itu Rara menginap di rumahnya. Rara menyesal tidak menyesal tidak mengetahui rencana Syilla lebih awal, sehingga dia bisa mencegahnya. Tidaklah aman wanita keluar sendirian di tengah malam.

Menurut penuturan Kak Shaka saat itu Syilla sendirian di rumah. Kedua orang tuanya sedang menjenguk eyang Mitha di Sukabumi dan dirinya sedang melakukan kunjungan proyek pembangunan rumah sakit di Bandung. Dia juga baru diberitahu Syilla sekitar lebih dari jam sepuluh malam. Syilla meminta ijin kepadanya. Dan dia tidak berhasil mencegahnya, sehingga dia terburu-buru melakukan perjalan pulang saat itu juga.

Rasa bersalah sangatlah besar bersarang di hati Rara. Beberapa malam sejak kejadian, dia selalu mendapatkan mimpi buruk tentang kejadian malam itu. Beruntung, Bunda Lea adalah seorang psikolog sehingga kondisi Rara segera dapat tertangani.

Sejak malam itu, tidak dibiarkannya Rara tidur sendirian. Dia juga diminta lebih sering lagi membaca Al Quran dan menadaburinya. Akhirnya Rara mulai bisa terlepas dari mimpi buruk itu.

Beruntung juga orang tua Syilla tidak pernah menyalahkannya atas kejadian yang menimpa putrinya. Mereka terlihat begitu ikhlas melepaskan kepergian Syilla. Menurut mereka Syilla lebih dicintai oleh Tuhannya, sehingga dia yang terlebih dahulu mendapat undangan menghadap kepada-Nya. Bahkan mereka juga mendukung agar Rara sembuh dari mimpi buruknya dan berharap hal ini tidak meninggalkan trauma untuknya.

"Sampai kapan kamu akan terus ada di sini?" Suara Shaka menyapa pendengaran Rara.

Shaka berdiri di hadapannya. Rara menengadahkan kepalanya ke atas sehingga netra keduanya saling bertemu. Tidak ada senyum terukir dari kedua wajah itu, hanya datar saja tanpa ekspresi.

Shaka tahu kebiasaan Rara bahwa sore hari gadis itu akan berada di makam adiknya dan berdoa di sana. Hari ini Shaka ingin menjemputnya karena ada hal yang ingin dia bicarakan dengan Rara.

"Ayo kita pulang! Sebentar lagi waktunya Salat Magrib."

Rara tidak menjawab, dia kembali memandang nisan Syilla, berdoa sebentar lalu berdiri menuju ke parkiran. Shaka mengikutinya dari belakang.

"Aku bawa mobil, jadi sebaiknya Kakak langsung pulang ke rumah saja."

"Aku akan mengikuti mobilmu dari belakang." Nada suara Shaka terdengar tegas, tidak ingin dibantah lagi.

(Bukan) Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang