Kepalan telapak tangan Shaka semakin kencang. Nestapa di balik pintu tempat kini tubuhnya bersandar, seolah menjelma monoksida yang membuat paru-parunya sesak kala bernapas.
"Bayiku baik-baik saja 'kan, Bun?"
Hening, hingga kembali hanya suara Rara yang terdengar. "Aku percaya ia bayi yang kuat, Bun."
Shaka memejamkan mata yang mulai memerah. Cairan bening perlahan menyeruak, menerobos keluar dari kedua sudut matanya yang terpejam. Setelah mengusap setetes cairan bening yang jatuh ke pipinya menggunakan punggung tangannya, Shaka segera membuka pintu kamar bertuliskan VVIP 3.
"Mas Shaka," panggil Rara begitu melihat sosok lain yang masuk ke ruangan yang terlihat asing baginya.
Milea mengeratkan genggamannya pada tangan sang putri. Namun, Rara begitu tak sabar melepaskannya. Kedua tangannya kini menyambut raga lelaki yang sejak lama mengguasi sebagian besar ruang di hatinya.
"Mas, akhirnya kamu dateng juga." Rara mencium punggung tangan suaminya.
Shaka balas mencium kening Rara agak lama. Dia lalu beranjak mencium punggung tangan kedua mertuanya, Milea dan Rayhan. Tatapan itu kini terasa berbeda. Sendu mendominasi sinar yang terpancar di kedua pasang manik pasangan itu.
"Ayah dan Bunda keluar dulu ya," ucap Rayhan sambil mengapit lengan Milea dan mengajaknya meninggalkan anak dan menantunya.
"Kita seharusnya nggak perlu keluar," lirih Milea menego kehendak Rayhan.
"Mereka butuh bicara berdua."
"Tapi --"
"Aku tahu kekhawatiranmu. Shaka adalah segalanya bagi putri kita. Percayalah, Shaka akan mampu menenangkannya."
Milea hendak kembali membantah, tapi Rayhan terlebih dahulu menyapu lembut pipi tembam Milea dengan bibirnya. "Kumohon, percayalah," bisik Rayhan di telinga kiri istrinya.
Milea akhirnya menurut, membiarkan Shaka memberitahu kabar itu. Kabar yang tak pernah ingin didengar oleh telinga dan terucap dari lisan.
Sementara tubuh Milea dan Rayhan mulai menghilang di balik pintu, Shaka mulai memilah kata yang tepat untuk disampaikan kepada Rara. Walaupun sebenarnya, pilihan kata terbaik pun akan sama tajamnya melukai hati sang istri.
"Kenapa saat aku bangun Mas tidak ada di sampingku? Padahal aku yakin, Mas yang membawaku ke tempat ini." Rara lalu menyandarkan bagian atas tubuhnya pada dada bidang sang suami yang kini ikut duduk di atas ranjang.
"Aku harus menemui dokter."
"Oh ... Mas habis ketemu dokter. Dokter bilang apa? Pasti dokter bilang kalau bayi kita hebat 'kan. Dia bayi yang kuat," ujar Rara sambil mengeluskan telapak tangannya ke area perut yang rata.
"Dia telah tiada."
Tiga kata itu sontak menghentikan gerakan tangan Rara yang sedang menyentuh lembut perutnya. "Siapa yang nggak ada? Penjahatnya udah nggak ada. Iya 'kan?"
"Maaf, aku gagal menyelamatkannya."
"Tak apa penjahat itu tak perlu diselamatkan. Mas nggak usah merasa bersalah."
"Bayi kita, di--"
"Dia baik-baik saja 'kan?" Rara membimbing tangan Shaka untuk mendarat di atas perutnya, "dia bayi yang kuat. Aku sangat menyanyanginya. Mas juga menyayanginya 'kan?"
Shaka merasa Rara telah mengetahui segalanya. Namun, dirinya terus berusaha menyangkal. Kehilangan seseorang yang pernah menjadi bagian dalam diri tentulah berat.
"Iya, dia bayi yang kuat. Aku menyayanginya, juga ibu bayi ini," tangan Shaka mulai mengelus-elus lembut perut Rara yang kini sudah tak berisi janin mereka, "dia sudah tak perlu merasakan kesakitan lagi. Dia telah bahagia di dunianya yang lain. Walau kini sudah tiada, bayi kita akan selalu ada di sini." Shaka menunjuk jarinya ke dada Rara.
"Hiks ... hiks ...," isak tangis Rara terdengar begitu pilu, membuat pertahanan diri Shaka seketika turut runtuh bersamanya. Butiran bening akhirnya mengalir deras dari kedua sudut pasang mata sejoli itu.
"Maaf." Shaka semakin mempererat tubuh yang kini berada dalam rengkuhannya.
Cukup lama Rara menangis dalam pelukan Shaka, hingga akhirnya mulai reda dan tertidur bersandar pada tubuh hangat suaminya. Tangan Shaka sejak tadi tak pernah lepas mengelus kepala Rara yang tutup hijab biru bunga-bunga kecil. Begitu dirinya merasakan deru napas Rara yang mulai teratur, perlahan Shaka membaringkan tubuh itu sepenuhnya ke atas ranjang. Shaka mengatur posisi bantal di ranjang itu, agar istrinya merasa nyaman.
* * *
"Akan kupastikan Yusuf mendapatkan hukuman setimpal atas perbuatannya."
"Tentu, aku pun berharap demikian. Bagaimana kondisi Kak Rara sekarang?"
Begitu Rara tertidur, Shaka keluar dari ruangan. Rencananya dia akan membeli kopi untuk membuat matanya tetap terjaga selama menunggui Rara yang baru sore tadi terbangun dari tidur panjangnya. Shaka terlalu takut melepaskan Rara lama dari jangkauannya. Namun begitu keluar, dia mendapati Harist sedang duduk di kursi tunggu yang terdapat tepat di depan ruang tempat Rara dirawat.
"Rara baru saja tidur setelah cukup lama menangis. Masuklah, aku akan ke kantin sebentar." Harist pun menuruti titah kakak iparnya.
Shaka akhirnya membeli dua cup kopi untuk dirinya dan juga Harist. Cukup lama mereka mengobrol hingga setelah lewat jam 12 malam, Harist pamit pulang. Setiap malam, Shaka selalu menjaganya di rumah sakit. Rasa bersalahnya kepada sang istri membuat Shaka ingin menebus dosa-dosanya selama ini.
Setelah empat hari di rumah sakit, akhirnya hari ini Rara diperbolehkan pulang ke rumah. Semua keluarga menyambut suka cita kabar bahagia itu.
"Bagaimana kalau sementara kalian tinggal di rumah Mama atau Bunda dulu?" tawar Zaza kepada anak dan menantunya.
"Sepertinya lebih baik kalau kita pulang ke rumah kita sendiri. Beberapa hari ke depan aku masih belum ke kantor."
Shaka mengungkap alasan yang memperkuat keinginannya untuk pulang ke rumahnya saja. Bukan ke rumah orang tua atau mertuanya. Dia yakin bisa menjaga Rara setelah ini.
Sikap Rara yang hanya terdiam, membuat mereka tak bisa memaksakan apa pun. Diamnya itu dianggap sebagai tanda setuju atas keinginan suaminya.
"Mulai sekarang kamar kita di lantai satu," ucap Shaka begitu mereka telah sampai. Shaka membimbing Rara menuju ke sebuah kamar yang katanya akan mereka tempati bersama.
Rara tak memberikan respon apa pun atas setiap apa yang diucapkan oleh suaminya. Namun, Shaka maklum karena riwayat selective mutism yang pernah diderita Rara sejak kecil. Kehilangan buah cinta mereka, pasti begitu mengguncang psikisnya.
"Aku telah gagal menjadi seorang ibu yang baik. Akulah penyebab bayi kita meninggal."
Ucapan Rara barusan, sontak membuat Shaka yang hendak beranjak ke luar kamar, mengurungkan niatnya.
"Nggak. Kamu ibu terbaik yang putra kita miliki. Allah hanya terlalu sayang kepadanya, sehingga dia terlebih dahulu tenang di sana. Hidup dan mati itu kuasa Tuhan. Tidak akan maju ataupun mundur walau sedetik. Jadi, kita hanya bisa berusaha ikhlas. Walaupun kata ikhlas tidak semudah diucapkan lidah, tapi kita harus berusaha." Shaka mengucapkan nasihat yang dulu pernah disampaikan Zaza kepadanya. Saat hatinya masih kufur terhadap takdir kematian Syilla.
Rara kembali menangis, sambil menautkan kedua tangannya yang bergetar. Rasanya begitu sakit, melebihi sakit saat tahu bahwa Shaka menikahinya hanya karena benci. Kehilangan bayi mereka seolah kehilangan seluruh harapan yang pernah dipupuk di hatinya.
"Menangislah, jika itu dapat membuat hatimu sedikit lega. Tapi, ingatlah bukan hanya dirimu yang merasa sangat kehilangan. Aku pun juga merasakan sakit yang sama," ujar Shaka sambil mengajukan diri sebagai tempat bersandar ternyaman, "jangan pernah merasa sendiri. Kita lalui semua ini bersama."
.
.
.❤
💜
❤Alhamdullilah, Rara dan Shaka bisa kembali update.
Semoga suka 😊Tinggalkan jejak kehadiran dengan vote & komentar ya.
Terima kasih,
Jazakumullah khair 😘Tegal, 22082021
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Pernikahan Impian
Romance"Menikahimu adalah mimpiku sejak dulu. Saat mimpi menjelma nyata, ternyata bukan surga yang kupijak, tetapi laksana neraka yang aku masuki." (Azzahra Putri Adhiatama) "Terkadang kita salah menerjemahkan sebuah rasa, karena begitu tipis batas antara...