BPI [43]

1.9K 162 19
                                    

"Kamu emang keras kepala ya, Ra," ujar Shaka geram saat mendapati Rara yang masih terjaga di sofa ruang tamu. Padahal jarum pada jam dinding yang terpajang di ruang tamu telah menunjukkan pukul 1 dini hari.

Sejak sore, Shaka telah meminta Rara untuk tidak menunggunya pulang. Namun, sepertinya telinga Rara telah bebal untuk mau melakukan perintahnya yang satu itu.

"Maaf, Mas. Aku beneran gak bisa tidur kalo Mas Shaka belum pulang," ujar Rara lirih sambil menunduk. Matanya menatap lantai tempat di mana dirinya kini berpijak.

Dia tidak berbohong. Matanya sulit terpejam lelap setiap Shaka belum berada di atap yang sama dengannya. Padahal Rara sudah mendirikan qiyamul lail, tilawah pun sudah dilakukan, hingga mencoba membaringkan tubuh dan memejamkan matanya pun, dia masih belum bisa tidur. Hanya sesaat terlelap, lalu akan bangun dan kembali mengecek keberadaan sang suami.

"Kamu sudah makan dan minum susu?" tanya Shaka dengan nada yang kembali melembut.

"Udah, Mas."

"Ya udah, sekarang masuk dan istirahatlah. Aku juga lelah dan ingin beristirahat."

"Mas udah makan?"

"Udah," jawab Shaka singkat sambil berlalu pergi menuju undakan tangga dan menaikinya satu per satu.

Melihat punggung Shaka yang semakin menjauh, Rara tahu inilah saatnya dia juga menuju ke peraduannya.

Shaka merealisasikan rencana lembur dalam otaknya. Sebelum melakukan perjalanan dinas ke luar negeri dirinya harus mengecek rancangan bangunan hasil kerja timnya. Memastikan semua telah sesuai dalam segala aspek untuk selanjutnya diperlihatkan kepada klien agar segera mendapat persetujuan realisasi dan diwujudkan dalam bentuk fisik nyata.

Keesokan harinya, setelah memastikan seluruh barang bawaannya telah masuk ke dalam koper, Shaka segera turun ke lantai bawah. Saat itu dia teringat bahwa belum merealisasikan perintah mamanya tempo hari. Perintah untuk pindah kamar bersama di lantai bawah.

Mencium aroma sarapan yang Rara buat, seketika nafsu makannya meningkat. Dan saat membayangkan seminggu kedepan, lidahnya tak akan mengecap rasa itu setiap hari, sontak Shaka merasa lesu.

"Rara mana, Bi?"

"Em ... anu, Pak, anu ...,"

"Anu-anu kenapa, Bi? Rara masih di dapur ya?"

"Nggak, Pak. Ibu lagi mual di kamar mandi belakang, Pak. Maaf."

"Rara mual? Kenapa, sakit?" tanya Shaka cemas sambil menghentikan kegiatannya mengambil nasi goreng ke piringnya.

"Aku gak pa-pa, Mas. Ini biasa buat ibu hamil, kok."

Rara muncul dari arah belakang dengan wajah pucat yang kentara. Terdapat bulir-bulir air sisa-sisa dari aktivitasnya membasuh wajah.

"Morning sickness?"

"Ya, begitulah."

Shaka tak berkomentar lagi. Dia melanjutkan sarapannya dan Rara pun melakukan hal yang sama. Sayang, di tengah menikmati sarapannya, Rara kembali mual. Bergegas dia menuju wastafel dan kembali mengeluarkan hidangan yang baru masuk saluran pencernaannya beberapa menit yang lalu.

"Gimana apa masih mual? Aku telepon Papa aja biar periksa kamu ya?"

"Jangan, Mas." Rara mencekal tangan Shaka yang hendak menghubungi Atha. "Aku nggak pa-pa. Nanti diminumin teh terus dibawa istirahat sebentar juga enakan."

Ini hari kedua Rara mengalami morning sickness yang cukup parah. Biasanya siang hari dia baru mulai bisa makan dengan tenang tanpa gangguan mual di lambungnya.

(Bukan) Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang