Dengan lembut, Shaka mengeringkan tubuh basah sang istri lalu mengganti pakaiannya dengan piyama baru. Shaka lalu bergegas menelpon seorang dokter keluarganya untuk berkonsultasi, tanpa ingin memanggilnya kemari.
Begitu panggilan tertutup, segera dimatikannya pendingin ruangan, lalu digantinya dengan alat penghangat suhu ruangan portable agar Rara tak kedinginan. Dengan termometer badan, Shaka mengetahui jika suhu tubuh Rara sangatlah dingin. Warna bibirnya pun pucat kebiruan.
Dari tanda-tandanya, tampaknya Rara terserang hipotermia. Tepat seperti yang dia konsultasikan. Kondisi saat suhu tubuh seseorang turun drastis akibat terlalu lama berada di tempat yang dingin. Setelah itu, Shaka kembali menghubungi seseorang.
"Iya, beberapa waktu ke depan datanglah setiap hari ke rumah. Makasih."
Shaka lalu mematikan ponselnya. Barusan dia meminta Pak Sodik dan istrinya untuk datang bersih-bersih dan memasak di rumahnya. Kondisi Rara saat ini tak memungkinkan untuk melakukan itu.
Shaka teringat akan sebuah teori atau mitos, entahlah. Dia hanya ingin mencoba menerapkannya saat ini. Teori skin to skin contact untuk hipotermia. Segera dilepasnya seluruh kain yang membalut tubuhnya dan juga Rara. Shaka lalu mendekap erat raga itu di balik selimut.
* * *
"Siapa itu Sandy? Dia si pengirim bunga itu?" tanya Shaka begitu Rara telah sadar.
Pukul 10 siang, Rara mulai membuka matanya. Shaka segera memberikan bubur buatan Bi Inah--istri Pak Sodik, dan lalu memberinya obat. Begitu selesai, Shaka segera menayakan tentang nama seorang laki-laki yang telah membuat emosinya sejak kemarin memuncak.
"Sandy?" tanya balik Rara dengan raut terkejut yang kentara.
"Kenapa terkejut? Karena aku tahu nama itu? Dia selingkuhanmu, kan?"
Rara tersenyum miris. Jadi, ini yang membuat dirinya kedinginan di bawah guyuran hujan berjam-jam lamanya.
"Dia pegawai Harist di showroom. Jika Mas Shaka ingin tahu tentangnya, maka ceritanya akan sangat panjang. Tapi, pasti Mas Shaka tak akan percaya kepadaku."
"Percaya atau tidak itu bukan urusanmu. Tapi, bercerita tentangnya aku rasa itu sebuah kewajiban."
"Aku mau meng-qodho salat yang kemarin tak bisa kulakukan," ujar Rara mengalihkan pembicaraan. "Aku rasa itu lebih wajib bagiku saat ini."
Shaka tak menjawab, tapi dia segera beranjak pergi dari kamar itu. Bagaimanapun dirinya sadar bahwa telah turut andil membuat Rara meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Sementara itu, Rara menjalankan apa yang dilisankannya. Dia segera meng-qodho salat yang kemarin ditinggalkannya; salat magrib, isya, dan subuh. Sesuatu yang terlewatkan, begitu teringat maka sebaiknya segera ditunaikan. Itu yang Rara yakini selama ini.
* * *
"Makasih, Ka, kamu dah bersedia menjemput Zi di daycare. Aku gak tau lagi mau minta bantuan kepada siapa selain kepadamu. Apalagi Zi sudah mengenalmu dan tampak nyaman denganmu. Rapatnya begitu mendadak, ini terkait akreditasi rumah sakit."
Setelah pagi tadi tak mendapatkan jawaban tentang siapa itu Sandy dari sang istri, Shaka memilih menyibukkan diri di kantor. Hal ini juga untuk menenangkan diri dan meredakan sisa emosi yang masih bercokol di dada.
Saat senja mulai menyapa, sebuah panggilan dari Nisa membuatnya kini menjejakkan kaki di sini. Daycare tempat putri Nisa dititipkan. Shaka akan menjemputnya dan sementara waktu membawa ke rumahnya, karena Nisa masih ada rapat hingga malam.
"It's ok. Aku seneng kok bisa main sama Zi. Sukses ya untuk akreditasinya."
"Amin, makasih."
Zi tersenyum dalam gendongannya. Sebelum magrib, Shaka ingin Zi sudah di rumahnya. Angin malam rasanya kurang baik bagi bayi berusia setahun itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Pernikahan Impian
Romance"Menikahimu adalah mimpiku sejak dulu. Saat mimpi menjelma nyata, ternyata bukan surga yang kupijak, tetapi laksana neraka yang aku masuki." (Azzahra Putri Adhiatama) "Terkadang kita salah menerjemahkan sebuah rasa, karena begitu tipis batas antara...