BPI [23]

1.8K 142 4
                                    

Kenapa sesal selalu terjadi setelah peristiwa telah terlewati? Karena terkadang manusia kurang perhitungan, hanya memandang peruntungan, tanpa siaga bahwa hal itu ternyata kebuntungan. Tidak ada kesempurnaan dalam hidup, yang ada hanyalah kelengkapan. Kesempurnaan murni hanyalah kepunyaan Sang Pemilik Kesempurnaan itu sendiri, Allah SWT. Itu yang selalu Rara pahami dalam hidup, sehingga saat tahu bahwa di telah salah melangkah, maka hatinya tidak akan terlalu patah.

"Kalian yakin akan pindah besok? Tidak mau lebih lama lagi menemani mama di rumah ini?" tawar Zaza sendu.

Rara meminta kepadanya agar mengizinkan dirinya dan Shaka bisa segera pindah ke rumah mereka sendiri. Zaza tak kuasa menolaknya. Dia pernah berada di tahap ini. Saat pengantin baru ingin mandiri dan hanya berdua bersama pasangannya tanpa merasa sungkan pada penghuni rumah lain yang membersamai mereka.

"Sebenarnya Rara ingin selalu bisa menemani, Mama. Tapi sebagai keluarga baru, kami ingin belajar mandiri, karena rumah tangga bukanlah bangunan singgah sesaat, tapi hubungan yang harus dipertahankan hingga akhir hayat. Jadi, kita harus belajar siap menghadapi segala ujian yang kelak menghadang dengan mandiri. Tidak mungkin kami selalu bergantung dan merepotkan kalian sebagai orang tua."

Mendengar penuturan lembut menantunya, Zaza kembali meluluh. Dielusnya puncak kepala Rara yang selalu rapat tertutup jilbab. "Baiklah, mama dukung keputusan kalian. Tapi, kalian harus sering main ke rumah ini. Kalau perlu, sering-seringlah saat weekend kalian bergantian menginap di sini dan di rumah bundamu ya."

"InsyaAllah, Mah. Kami akan sering main ke sini."

"Kha, mama izinin kalian mulai besok pindah ke rumah baru," ucap Zaza kepada Shaka.

"Makasih, Mah," balas Shaka singkat.

"Tapi ingat ya! Kamu dan Rara harus sering juga main ke sini. Dan mulai ubah kebiasaan buruk kamu yang workaholic itu. Ada istri di rumah yang nungguin kamu. Jadi, jangan sering pulang kerja terlalu malam. Sayangi dan jaga Rara baik-baik, dia sekarang sepenuhnya tanggung jawab kamu."

"Baik, Ma."

"Ra, kalo Shaka nanti nggak becus jadi suami, kamu bilang mama aja. Nanti mama yang akan getok kepalanya biar dia sadar diri," Zaza beralih menasihati menantunya sambil tersenyum hangat layaknya seorang ibu kandung.

"Mah, yang anaknya mama itu siapa, sih? Aku atau Rara? Harusnya mama lebih belain aku, dong," ujar Shaka kesal. Dia tak habis pikir, mamanya kini lebih sayang Rara daripada dirinya.

"Tuh, kamu tahu kalo kamu anak mama. Jadi, sejak Rara menikah denganmu, dia juga menjadi anak mama. Lagian kamu itu laki-laki, udah kewajiban laki-laki sejati bisa melindungi pasangannya, Kha. Nggak usah protes, deh, kaya anak kecil aja." Zaza tersenyum melihat sang putra uring-uringan karena cemburu kepada istrinya sendiri.

Jika, Rara belum tahu tentang kejujuran alasan di balik pernikahan mereka, mungkin dia akan bisa tertawa lepas melihat tingkah suaminya yang masih manja saat bersama sang mama. Dia akan bahagia, setelah pernikahan mereka mungkin Shaka juga akan suka bermanja-manja dengannya. Namun, kini semua harapan itu rasanya mustahil. Benci di hati Shaka akan menjadi benteng pertahanannya untuk tidak melakukan hal itu. Akhirnya, Rara hanya bisa tersenyum miris.

* * *

"Kamarku ada di atas, kamar kamu di bawah," ucap Shaka saat telah berada di rumah yang akan mereka tempati. Dia menunjuk ke arah di mana kamarnya dan kamar Rara berada.

Mengetahui batasan itu, Rara pasrah saja. Toh, dia sudah bersedia akan menuruti semua permintaannya, jika hal itu dapat membuat Shaka memaafkannya.

Rumah itu memiliki dua lantai, ada kolam renang di bagian belakang dan halaman yang cukup luas di area samping kanan dan bagian depan. Saat pertama kali Rara melihat rumah ini, rasanya dia akan menyukai saat tinggal di sini. Namun, jika teringat rasa benci di hati suaminya, maka semegah apa pun istana yang Shaka bangun untuknya, itu laksana neraka yang akan dia tempati.

(Bukan) Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang