31 - Siapa Lelaki Itu

2.3K 88 35
                                    

Keesokan hari, pencarian berlanjut, kami mencari alamat rumah kos dari petunjuk yang diberikan oleh Nisa, mantan tetangga mbak Wulan dulu.

Dalam perjalanan kami melewati sebuah daerah yang sangat unik, kata Epan supir kami, tempat itu bernama kawasan Maliobaru, tempat dimana kendaraan bermotor tidak boleh masuk, di sana hanya bisa berjalan kaki, atau naik ojek sepeda onthel atau becak yang tersedia di sana.

"Wah, keren tuh, tempat wisata ya? Kayak suaka adat gitu?" kata Rosa.

"Tapi... tempat itu ngeri bu." kata Epan.

"Lho, kenapa??"

"Tempat itu dikuasai oleh anggota geng setempat, sering terjadi pertikaian antar geng." kata Epan.

Pencarian pun berujung ke sebuah rumah yang tidak jauh dari kawasan Maliobaru tersebut, ada sebuah bangunan rumah berbentuk kontrakan petak-petak.


"Jalan Bojongkenyot, Blok M, nomor 34C, kecamatan Rawabebek, kelurahan Senggolsoang."


Setelah merasa yakin dengan alamat yang kami tuju, kami langsung menuju ke depan gerbang yang ternyata tidak dikunci. Ada tulisan di depan gerbang yang sudah sedikit kusam tertutup karat dan tumbuhan rambat.


"Kontrakan Bale Ekek"

"Tersedia kamar; hubungi H. Kamarrukmono, 081x xxxxxxxx."


Kami memutuskan langsung masuk saja toh pintunya tidak dikunci.

"Assalamualaikum..."

"Permisi..."

Suaraku dan Rosa sahut-sahutan.

Tok... tok... tok...

Kami mencoba mengetuk pintu kamar pojok yang katanya kamar yang disewa Wulan, tapi nampaknya tempat kosan itu lagi sepi, pemilik kosnya juga tidak tinggal di sana dan penghuni lain juga nampaknya belum ada satupun yang kembali.

Kulihat ada sebuah warung di seberang rumah tersebut kami pun mencoba bertanya kepada mas penjaga warung tersebut.

"Ooh kalau mbak Wulan udah nggak ada." kata mas penjaga warung.

"Ooh, udah pindah gitu mas?" tanyaku.

"Ya... begitulah..." balas si mas warung.

"Kira-kira mas tau nggak ke mana mbak Wulan pindah?" tanyaku.

"Wah... ndak tau ya..." kata mas itu.

"Kalau penghuni kamar pojok itu siapa mas tau nggak?" tanya Rosa.

"Oh, kalau kamar pojok itu punya mas Surya." kata cowok itu.

"Mas Surya siapa tuh??" aku dan Rosa saling lihat-lihatan.

"Lu aja kagak kenal, malah lu tanya gue." kata Rosa. "Coba aja tanya sama mas Surya siapa tau aja kenal sama Wulan." kata Rosa lagi kepadaku.

"Tau nomor telponnya mas Surya nggak mas?" tanya Rosa kepada penjaga warung.

"Wah, sori mbak ndak tau, tapi kalau mau tunggu aja, sore biasanya dia pulang abis narik becak, deket koq di sini jalan Maliobaru."

"Ya udah Rik... tunggu aja mas Surya itu pulang, mungkin aja dia tau Wulan. Yaah, siapa tau aja kan."

* * *

Akhirnya aku dan Rosa nangkring di depan warung, ngopi, ngemil dan merokok sambil menunggu penghuni kamar paling pojok itu kembali. Sekitar waktu magrib kulihat ada sosok cowok yang baru saja datang, ia memakai jaket rompi hoodie yang dipotong bagian lengan nya. Terlihat sekali kulitnya yang gelap mengkilap terbakar matahari, walaupun tubuhnya terkesan kecil tapi lengannya terlihat kencang penuh lekukan otot-otot.

Aku sampai menelan ludah berulang kali melihat sepanjang lengan berotot yang penuh lekuk berkulit coklat gelap mengkilap itu.

"Woi... jangan bengong cun!!" seru Rosa.

Kulihat ia memarkir becak di halaman kontrakan dan menuju ke kamar paling pojok. Langsung saja aku dan Rosa berlari menghampiri lelaki itu.

"Eh, maaf, mas... mas... permisi." kataku.

Tetapi lelaki itu nampak buru-buru menuju kamarnya.

"Mas... tunggu sebentar... mas..." kataku dan Rosa yang mengejarnya, ia nampak terburu-buru hendak membuka pintu kamarnya tapi masih mencari kunci kamar di tas pinggangnya.

"Permisi mas... maaf... mau minta tolong sebentar aja. Kita cuma mau tanya sesuatu..." sahut Rosa.

"Permisi mas..." kataku.

Ia masih cuek dan sepertinya pura-pura tidak mendengar.

"Maaf... Mas Surya kan??" kataku menyapa.

"Hm... kalian siapa dan mau apa?" akhirnya ia bertanya kepada kami dengan suara pelan tanpa menoleh.

"Maaf... mas, saya mau nyari seseorang barangkali mas kenal." kataku.

"Aku nggak kenal banyak orang, maaf." katanya berkata dengan tetap memunggungi kami sambil lanjut mencari-cari sesuatu di tas pinggangnya, pastinya mencari kunci untuk membuka pintu kamar kontrakannya.

"Tunggu, tolong mas, mungkin mas bisa bantu sebentar aja. Dulu ada cewek namanya mbak Wulansari Ariani. Dia pernah kontrak di sini, barangkali mas kenal." kataku.

Klinting... klinting... anak kunci di tangannya terjatuh. Lelaki itu terdiam di depan pintu kamarnya.

"Maaf saya nggak kenal..."

"Mas, tolong, mbak Wulan itu kakak kandung saya, dia udah lama nggak pulang, barangkali mas tau sesuatu." kataku.

"Kakak kamu??" tanya cowok itu.

"Iya, saya adik kandungnya..."

Lelaki itu terdiam sejenak.

"Bohong!!" katanya.

"Apa??" balasku.

"Bohong!! Kamu bukan adiknya Wulan." kata cowok itu.

"Dari mana mas tau!!?? Mas kenal kakakku??" tanyaku.

"Adiknya Wulan itu cowok..." kata cowok itu.

Lalu kami semua pun terdiam sejenak.

"Maaf, tapi mas bisa bantu kita nggak? Kita jauh-jauh datang ke Jogja untuk mencari Wulan, kalau mas bisa bantu kami, kami pasti akan sangat menghargai. Tolong mas, ini mengenai urusan keluarga yang sangat penting." kata Rosa.

"Siapa sih kalian ini???" tanya lelaki itu.

Kemudian perlahan ia berbalik badan, perlahan menoleh ke arahku dan Rosa, tapi kami hanya bisa melihat setengah wajahnya karena tertutup capuchon hoodienya.

"Si—Siapa kamu!!??" tanya cowok itu ketika melihatku.

"Mas siapa?? Mas kenapa bisa kenal kakak saya?? Dimana kakak saya!!" tanyaku balik.

Banci TerminalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang