69 - Undangan Pesta

1.8K 62 29
                                    

Akhirnya tiba hari yang spesial untukku yaitu hari pernikahanku dengan mas Andra.

Sebuah hotel bintang lima terbesar yang berlokasi di sebuah daerah di Sleman sudah dibooking untuk mengakomodasi acara ini. Kupilih Hotel ini karena punya lapangan yang cukup luas untuk menjadi venue wedding dengan konsep garden party.

Rencananya akad dilakukan di sebuah altar yang sudah dihias. Setelah itu resepsi dilanjutkan makan malam dan menikmati live music di garden.

Aku sendiri canggung, karena aku belum pernah merasakan pesta sebesar itu, pernikahanku dulu dengan Indri jauh sangat-sangat teramat jauh sekali dari kali ini.

Orang-orang penting tentu hadir dalam acara pesta ini, pertama-tama tentunya kerabat dan keluarga kami baik dari sisi mas Andra maupun diriku.

Mamanya mas Andra datang jauh-jauh dari Tarakan, kemudian kedua saudara mas Andra yaitu kakaknya yang dinas di Papua dan adiknya yang bekerja di Pekanbaru juga ikut datang dan aku baru berkenalan dengan mereka berdua. Tentunya mereka tidak tahu dan tidak akan pernah tahu seumur hidup kalau aku ini adalah mantan waria yang telah full transgender. Mereka mengenalku sebagai wanita tulen.

Selain itu ada juga tamu lain mulai dari rekan-rekan bisnis mas Andra, sanak keluarga yang tidak begitu kukenal dekat.

Teman-temanku juga ikut meramaikan acara ini. Mami Lulu datang bersama putrinya yang bernama Via, bang Jek juga ikut kuundang tentunya. Ecchi dan om Sandi pun juga datang jauh-jauh dari Kuala Lumpur. Mereka semua sudah check-in di hotel satu hari sebelum hari H akad nikah.

Oh iya, tidak lupa mantan istriku pun juga datang bersama calon suami barunya yang juga merupakan seseorang yang berarti dalam hidupku.

* * *

Bapak Dan Ibu

Bapakku baru kali itu akhirnya merasakan yang namanya keluar kampung, tadinya mereka kaget mendengar aku mau menikah, oh iya yang dimaksud ini bapakku mengira kalau yang menikah itu Wulan (anak perempuannya), bukan Riko. Bapak tadinya maunya acara diadakan di kampung, dengan adat dusun tentunya. Tapi aku menolak, aku mau acaraku modern dan tidak ada embel-embel adat.

Waktu tiba di hotel, bapakku terlihat jelas canggung dan malu karena melihat keadaan dunia luar yang begitu modern, jauh sekali dari peradaban di kampung yang masih belum semodern di kota. Untungnya ibuku lebih modern karena ia rajin membaca dan semenjak kubelikan gadget ia selalu up to date.


Oh iya... satu lagi... untungnya lagi bapakku buta huruf, jadi ia tidak bisa membaca spanduk dan karangan bunga kalau pernikahan itu atas nama Rika Vanessa dan Andraguna Wirawan, bukan atas nama Wulan.

Yah sebetulnya patut disayangkan sih bapakku buta huruf karena malas belajar. Faktanya, bapakku tau perbedaan nominal uang dari warnanya, bukan karena membaca angkanya. Apakah itu sejarah bangsa Indonesia ya? Uang kertas diberi warna karena warga Indonesia zaman dahulu buta huruf (dan apakah sengaja dibiarkan buta huruf?). Coba kalau uang kertas kita seperti mata uang dollar yang warnanya abu-abu semua?

Tapi dasarnya bapakku juga orangnya malas belajar, prinsip hidupnya simple, asal bisa cangkul sawah dan bisa makan hidup udah cukup. Ora peduli kemajuan atau perubahan zaman, toh kompeni sama jepun juga udah pergi katanya. "Kita hidup damai sekarang le, yang penting bercocok tanam sama bikin anak..." gitu lah prinsip bapakku.

Ibuku malah lebih rajin dan lebih termotivasi untuk belajar, biarpun sekolahnya terhambat apalagi dulu perempuan dibilang cukup di urusan dapur, kasur, dan sumur, tapi inspirasi Kartini begitu kuat sehingga ibu rajin belajar di pondok, yang penting bisa baca, tulis dan berhitung. Oleh karena itu ibu sukses dengan tokonya UD Dilarangutang.

Banci TerminalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang