59 - Konfrontasi Indri

2K 66 36
                                    

"Kenapa? Kalau aku mau jadi seperti mama aja gimana? Emangnya aku harus jadi laki-laki? Aku nggak boleh pilih? Mama dulu laki-laki atau perempuan?" tanya Eri.

Nah, sekarang aku jadi semakin bingung.


Semua yang pernah diceritakan Ecchi seperti terjadi sekarang, sekarang aku mengalaminya dari sisi orang tua. Apalah aku, padahal aku juga seorang laki-laki yang malah berubah menjadi perempuan. Kalau aku mengajarkan anakku menjadi seperti diriku apakah aku orang tua yang benar?

Tetapi... aku seorang ibu, aku orang tua. Aku harus menemukan cara untuk berdamai dengan perasaanku dan mencoba untuk memahami perasaan Eri dari sisi Eri.

Karena memang kenyataannya aku sekarang dihadapkan pada dua pilihan, berperang dengan masalah ini atau berdamai. Kalau aku memilih untuk berperang aku hanya akan melahirkan 'Ecchi-Ecchi' yang baru, anakku akan semakin defensif dan memberontak, ia akan nekat mengambil jalannya sendiri. Aku harus berdamai dengan masalah ini, menuntunnya untuk berjalan bersamaku, memberinya pilihan dan membiarkannya untuk memilih mana jalan yang ia inginkan.

"Eri, sini sayang..." kupanggil anakku yang baru selesai mandi.

Hal pertama yang kulakukan adalah memperbaiki caranya memakai handuk selesai mandi. "Pakainya di sini ya, tutupi dada sampai paha kamu." kataku.

"Kenapa gitu ma?"

"Soalnya dada kamu juga aurat, bagian yang sakral, biasakan ditutup." kataku menjelaskan se-netral mungkin tanpa menyangkut ke arah seksualitas.

Pagi itu kudandani Eri, kusisir rambut panjangnya.

"Oh iya, katanya kamu pengen rambutnya dikepang kayak Nadia temen kamu dulu, sini mama kepangin." kataku.

Kukepang rambut panjang Eri dan kujepit ujungnya dengan jepit rambut model pita.

"Nih, kamu pakai punya mama." kataku sambil mengambilkan anting cincin milikku dulu. Karena Eri belum punya lubang tindik jadi kupakaikan 'ear clipper' untuk membuat anting jadi seperti model anting jepit. Kupakaikan juga gelang rantai perak yang ada mata-mata batu safir kecil di tangan kiri Eri.

Wajahnya kudandani dengan bedak tipis-tipis, kurapihkan alis mata dan kuberi sedikit maskara untuk melentikkan bulu matanya. Bibirnya cukup diberi lipbalm saja karena bibir Eri sudah warna merah alami.

Sekarang anak itu terlihat cantik imut-imut seperti anak cewek. Seragam sekolahnya model seragam putri, baju dan rok mini. Ia nampak begitu ceria, bahagia dan begitu bersemangat saat berkaca melihat dirinya sendiri.

Aku menahan tangisku, sebetulnya sejujurnya perasaanku aneh saat melihatnya memakai baju tersebut. Hati kecilku tidak ingin melihatnya seperti ini, aku ingin melihat anak laki-laki yang normal.

* * *

Pagi itu juga Supirman akhirnya juga tiba di Jogja dengan membawa mobil mas Andra. Karena aku tau ia lelah dari perjalanan jauh seorang diri jadi ia kusuruh istirahat saja. Kakakku sudah mencarikan kamar kos untuk Supirman karena sekarang mas Andra tinggal di Jogja.

Aku mengantar Eri ke sekolah dengan mobil mas Andra, setelah drop Eri di sekolah kujemput kakakku dan kami berdua menjemput mas Andra yang sudah landing di bandara Adisucipto.

Begitu melihat sosok mas Andra aku langsung berlari spontan memeluknya begitu lama. "Mas Andra... sekarang aku bisa bersamamu selamanya, aku akan menjadi istri yang mendampingi dirimu sampai maut memisahkan."

"Akhirnya aku bisa bertemu denganmu lagi, Rika sayangku. Iya Rika, kita akan segera mengatur acara pernikahan kita. Kita akan menikah di sini ya, di Jogja." kata mas Andra.

Banci TerminalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang