02 - Ibu Kota oh Ibu Kota

5K 113 111
                                    

Stasiun Gambir

Jam 5:30 kereta pun tiba di Stasiun Gambir Jakarta Pusat.

Setelah akhirnya turun dari kereta aku langsung menghubungi pak Didik untuk mencari titik pertemuan. Aku memberitahukan ciri-ciri diriku dan pak Didik menyuruhku menunggu di sebuah warung di pintu stasiun.

Sekitar jam 6:00 lewat, seorang pria yang nampak usia antara 30 - 35 tahunan menghampiri diriku.

"Maaf, dengan Pak Riko ya?" sapanya.

"Oh, iya, saya Riko... ini pak Didik?" tanyaku.

"Iya, selamat datang di ibu kota pak, mari ikut saya." kata pak Didik.

Lantas aku pun mengikuti pak Didik ke sebuah mobil minibus butut, rupanya ada sekitar 5 orang yang ikut naik ke mobil semuanya bapak-bapak, dan mobil pun jalan.

Baru kali ini kulihat suasana ibu kota, sebuah kota besar, kota yang katanya disebut kota metropolitan, semua serba modern dan canggih, sepanjang jalan hanya terlihat gedung-gedung bertingkat, jalanan aspal. Baru kali itu juga kurasakan yang namanya bau udara yang sangat tidak sedap. Inilah yang dulu disebut oleh guru SD ku polusi udara, bau asap knalpot yang sumpek sesak. Belum ada sehari di sini aku sudah merindukan udara sejuk di kampung halamanku.

Masih pagi hari, namun jalan yang sudah sebesar empat jalur kendaraan roda empat sudah macet total padat merayap. Berbeda jauh dengan keadaan di kampungku, di sana jalan setapak tanah yang lewat hanya sepeda ontel dan pejalan kaki saja.

Setelah mengarungi kemacetan padat merayap, berbelok ke jalan yang lebih kecil dan akhirnya kami sampai di sebuah gedung kecil yang terlihat sangat sepi.

"Silahkan masuk, oh iya, bagi yang belum menyelesaikan administrasi silahkan ke sebelah sini." kata pak Didik.

Kelima orang yang satu mobil denganku itu satu persatu menyerahkan uang kepada pak Didik dan jumlahnya luar biasa, ada yang mengeluarkan 5 juta bahkan sampai 10 juta. Sedangkan aku hanya mampu memberikan uang 1.000.000 saja. Kemudian aku diminta untuk menandatangani sebuah kertas yang ada materainya dan aku menyerahkan uang tersebut.

"Nah, pak Riko kalau sanggupnya cuma sejuta doank saya ga janji pekerjaan yang bagus nih ya pak." kata pak Didik.

"Baik, siap pak, yang penting saya dapat kerja, saya siap kerja apa aja koq asal halal pak." kataku.

Kemudian aku beserta lima orang lainnya diantar masuk ke bagian dalam gedung yang ternyata nampak seperti sebuah asrama jadi-jadian, hanya ada ruangan yang diisi kasur matras yang digelar di lantai, di ruangan-ruangan tersebut masing-masing diisi sekitar dua puluh orang per ruangan dengan kondisi matras yang berdempetan.

Pak Didik menyuruh kami untuk menunggu di tempat ini sampai ada panggilan darinya.

"Menunggu pak? Terus nanti kapan kami dipanggil kerja?" kataku yang mempertanyakan.

Tapi pak Didik bilang pokoknya kami disuruh sabar menunggu saja, satu persatu akan mendapat jatah pemanggilan dari pak Didik nantinya. Aku pun mempertanyakan kepastiannya tapi pak Didik belum bisa memberi kepastian dengan alasan ia harus berkoordinasi dengan atasannya dulu.


* * *


Wisma Pekerja

Kami ditinggal di gedung kecil di pinggiran kota. Sebuah gedung yang sudah nampak usang, sepertinya bekas sebuah kantor yang sudah tak lagi terpakai, pagar-pagarnya terlihat karatan.

Akhirnya aku mulai berkenalan dengan beberapa orang yang juga berasal dari berbagai daerah, sama-sama merantau untuk mengais rejeki di ibu kota. Ternyata beberapa orang di sana ada yang sudah hampir satu minggu menunggu dan diam di dalam gedung Wisma Pekerja tersebut.

Banci TerminalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang