65 - Keesokan Pagi

1.7K 59 40
                                    

Aku hanya bisa menangis pasrah, apa yang harus kulakukan. Semalam suntuk sampai pagi buta aku terbengong di ruang tunggu sampai aku tertidur di sana.

"Rika... bangun Rika..." seseorang membangunkanku.

Aku membuka mata dan begitu terkejut melihat siapa yang datang.

"Bang... koq bisa ada di sini?" kataku begitu melihat orang tersebut.

Bang Jek datang pagi itu, aku baru ingat kalau ia berada di Solo setelah Terminal dibubarkan, Rosa yang mengabarinya dan ia datang untuk mendonorkan darahnya kepada mas Andra karena ia pemilik golongan darah pendonor universal.

Mas Andra akhirnya dioperasi pagi itu juga, berkat donor dari bang Jek, mas Andra terselamatkan, tapi ia masih harus dirawat di ruang pemulihan.

***

Sedangkan sekarang tinggal kakakku yang masih harus ditangani.

Dokter yang menangani kakakku bernama Dokter Heru. Ia bilang kalau payudara kakakku harus diangkat, ada jaringan yang bengkak dan terancam mengalami komplikasi apabila infeksi menyebar ke tubuhnya.

"Dok, apa nggak ada cara lain untuk menolongnya?" tanyaku.

Dokter Heru bilang kalau payudara kakakku bisa dikembalikan nanti lewat proses rekonstruksi bedah plastik implant payudara tapi itu sebatas untuk kecantikan saja, payudaranya tidak akan berfungsi normal lagi.

"Nggak apa-apa dok... angkat aja payudara saya... keduanya..." kata kakakku yang ternyata sudah sadar sambil terbaring di atas kasur.

"Kak... tapi..." kataku.

"Nggak apa-apa... angkat aja keduanya..." kata kakakku dengan wajah tersenyum.

"Baiklah kalau memang ibu Wulan sudah setuju untuk kami lakukan prosedur Mastektomi, yaitu bedah untuk pengangkatan payudara." ucap sang Dokter.

Kemudian aku pun diminta untuk mengurus administrasi dan keperluan pasien, setelah itu aku kembali menemui Dokter.

"Operasi akan kami lakukan besok, Dokter spesialisnya datang langsung dari Surabaya." kata Dokter yang menangani kakakku.

"Makasih Dok..." kataku.

"Oh iya bu Rika... ehm, boleh saya tanya sesuatu?" kata Dokter Heru.

"Kenapa Dok?"

"Ada satu hal yang ingin saya tanyakan di luar kejadian ini... saya, memeriksa payudara kakaknya ibu, dan saya mendapati kalau..." Dokter Heru terdiam sesaat.

"Kenapa Dok? Ada apa dengan kakak saya?" tanyaku.

"Kakaknya ibu itu... dia... transgender FTM ya?"

Aku terkejut mendengar kata-kata Dokter Heru.

"Ehm, i—iya Dok... begitulah..." kataku.

"Tidak perlu malu bu, saya seorang Dokter bukan ustad, bukan pula hakim adat atau ketua religius dari kubu manapun, saya tidak berhak menghakimi orientasi seksual siapapun pasien saya. Justru saya harus tahu jelas kondisi dan kejiwaan pasien." balas Dokter Heru.

"Dokter koq bisa tau?" tanyaku.

"Soalnya payudara kakakmu itu... terlalu lama dan terlalu sering dibebat, banyak pembuluh darahnya yang tersumbat. Payudara wanita adalah bagian yang sangat sensitif di tubuh wanita. Hanya orang dengan kejiwaan tertentu biasanya yang sampai melakukan hal se-ekstrim itu. Cewek tomboy sekalipun tidak ada sampai yang seperti itu." kata Dokter Heru.

"Bb—Benar Dok..." kataku.

"I—iya dok... tolongin kakak saya, saya mohon..." kataku.

"Baik, bu Rika tenang saja ya, saya punya orang yang tepat untuk menolong kakaknya ibu." kata Dokter Heru.

Banci TerminalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang