58 - Ultimate Question

1.6K 60 7
                                    

Sore hari kakakku mengantar Eri ke rumahku yang baru. Begitu aku membukakan pintu aku terbelalak dan terkejut melihat penampilan Eri.

"Mama..." panggilnya.

Tanpa banyak berkata anak kecil itu langsung berlari ke pelukanku dan tentu saja kusambut dengan seluruh kerinduanku yang rasanya sudah bagaikan lahan tandus yang disiram hujan sehari. Akhirnya aku bisa memeluk kembali buah hati semata wayangku.

"Eri kangen mama." bisiknya.

"Mama juga nak."

Kakakku pamit untuk kembali ke pekerjaannya dan meninggalkan kami berdua di rumah tersebut.

Sebenarnya aku sedikit terkejut melihat penampilan anakku tetapi aku diam saja, aku belum ingin membahasnya walaupun perasaanku sedikit gusar melihatnya.

Rambut Eri sudah semakin panjang dan membuat wajahnya yang memang sudah sangat feminim jadi terlihat semakin seperti anak cewek. Kalau didandani jadi anak cewek tidak akan ada satupun yang tau kalau anak itu sebenarnya laki-laki.

Kulihat penampilan Eri sangat terawat, wajahnya yang memang sudah putih imut-imut semakin cerah dan mulus, pipinya seperti anak bayi, apalagi rambutnya begitu lurus dan halus. Benar-benar tidak seperti anak-anak cowok pada normalnya. Dilihat dari penampilannya yang nampak sangat terawat aku sudah dapat menebak kerjaan siapa lagi itu kalau bukan Rosa yang membuat anakku jadi semakin feminim.

Untungnya sekolahnya memang tidak ada peraturan seperti di sekolah umum, karena di sekolah itu juga banyak komunitas anak-anak transgender yang diijinkan memakai seragam putri.

Aku memang sudah mengantisipasi, makanya aku memilih untuk memasukkannya ke sekolah khusus, karena kalau ia bersekolah di sekolah normal ia akan semakin sulit untuk bergaul. Tetapi, apakah aku harus membiarkan hal ini? Walaupun Eri belum dapat memahami apa yang terjadi pada dirinya, tapi jelas sekali kuperhatikan anakku sudah mengalami gejala disforia gender, apakah aku harus mulai membawanya ke psikiater?

"Mandi yuk Ri." kataku.

Ia tersenyum dan mengangguk.

Aku selesai mengisi air di bathtub dan aku pun membuka handuk yang melilit tubuhku. Sekarang tubuhku telanjang di depan anakku.

Sebenarnya aku memang sengaja memperlihatkan tubuhku yang sekarang karena inilah aku sekarang Riko yang sudah berubah menjadi Rika, ayah yang sudah berubah menjadi ibu, aku sengaja ingin mengetahui rekasi anakku secara fisik dan psikologis mumpung anakku masih usia kecil belum akil balig.

Waktu kami sama-sama telanjang, Eri terus memperhatikan bagian selangkanganku, tidak hanya itu, ia juga memperhatikan bagian tubuhku yang lain dan pastinya ia sedang membandingkannya dengan tubuhnya sendiri. Aku tahu ia ingin mempertanyakan sesuatu tetapi sepertinya ia malu.

Aku membilas tubuh kami berdua dan menyelesaikan mandi, setelah itu kami berdua mengeringkan badan. Aku mengeringkan rambut Eri yang masih setengah basah. Kusisir helai rambut yang panjang itu, dan aku jadi teringat dengan teman baruku di Thailand kemarin, Ecchi. Tiba-tiba aku jadi memeluk Eri, kupeluk anak itu seerat mungkin di dadaku.

"Kenapa ma?" tanya Eri.

"Nggak apa-apa... mama sayang kamu nak, apapun yang terjadi mama nggak ingin kamu pergi dari mama ya." kataku.

"Lho... aku nggak mungkin pergi ke mana-mana, emang aku mau ke mana?" kata Eri dengan polosnya.

Aku terbayang, aku tidak ingin kejiwaan Eri terganggu, aku tidak ingin Eri merasa dibenci dan tidak disukai apalagi oleh aku orang tua kandungnya, aku tidak ingin ia kabur dari rumah dan tumbuh menjadi anak jalanan, hidup di dunia malam, menjalani kehidupan yang gelap.

"Nak, kalau mama potong rambut kamu gimana? Biar ganteng kayak om Andra atau om Surya." kataku.

"Aku nggak mau." katanya singkat sambil menggelengkan kepalanya.

"Kenapa nggak mau? Kenapa kamu panjangin rambut?"

"Biar cantik, kan bagus, kayak mama." kata Eri.

"Tapi Eri kan anak laki-laki, masa rambutnya panjang, anak laki-laki kan harus ganteng." kataku.

Eri nampak mengernyitkan dahi seakan sedang berpikir keras mencerna sesuatu yang tak dipahaminya.

"Hm... emang... apa sih itu laki-laki? Dan... apa bedanya sama perempuan ma? Dan lagi... kenapa aku harus jadi anak laki-laki? Emang aku ga boleh milih ya?" tanya dirnya.

Sekarang aku yang bingung untuk menjelaskannya.

Aku tidak ingin menjelaskan yang mengarah ke fisik dan seksualitas, aku ingin Eri memahami arti, tanggung jawab dan peran dalam kehidupannya ke depan.

"Eri itu lahir sebagai cowok, suatu hari nanti Eri akan punya tanggung jawab sebagai laki-laki apabila Eri sudah menikah Eri akan menjadi kepala keluarga, Eri harus untuk melindungi dan menjadi pemimpin untuk wanita yang akan menjadi pasangan Eri nantinya."

"Itu artinya... suatu hari nanti aku jadi seorang papa seperti om Andra dan om Surya?" tanya Eri.

Aku mengangguk.

"Kenapa? Kalau aku mau jadi seperti mama aja gimana? Emangnya aku harus jadi laki-laki? Aku nggak boleh pilih? Mama laki-laki atau perempuan?" tanya Eri.

Nah, sekarang aku jadi semakin bingung.

Nah, sekarang aku jadi semakin bingung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

░ ░ ░

Terus aku kudu piye? Kira-kira aku harus menjawab apa?

Banci TerminalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang