39 - Silaturahmi Membawa......

2.5K 75 17
                                    

"Kak... aku mau bayar hutang ke pak Bagus, ya ga mungkin kan aku ketemu pak Bagus dengan penampilanku yang sekarang, jadi aku mau minta tolong kakak deh yang ketemu berperan sebagai aku, tapi aku temenin koq. Aku cuma mau mengucapkan terima kasih aja secara langsung, karena biar bagaimanapun juga dia yang bantu aku berangkat waktu dulu." kataku.

Sebenarnya sih aku bisa transfer saja selesai, tapi namanya kita orang melayu tetap saja budaya tata krama kami, silaturahmi bertemu muka dan berterima kasih secara langsung adalah sebuah keharusan.

Sembari kami jalan ke rumah pak Bagus aku melewati rumah kontrakan yang dulu pernah kusewa dan kutinggali bersama Indri sewaktu awal pernikahan kami dulu.

"Eh itu tempat aku ngontrak dulu kak." kataku sambil menunjuk sebuah rumah kecil.

Sekarang rumah itu sudah dihuni oleh pasangan lain, ada seorang lelaki yang tampangnya lagi kusut, kusat, kasut, kalut dan nampak stress, ia sedang duduk telanjang dada sambil merokok. Sementara sang istri juga tidak kalah kusut, berantakan, acakadut, wajahnya kusam, cemberut, lagi marah-marah, mulutnya tidak berhenti komat-kamit nyerocos, berdengung ngomel dengan nada-nada tinggi, tidak jauh dari sana anak kecil mereka lagi nangis menjerit-jerit. Sepertinya mereka keluarga muda baru, pasangan muda yang sedang haru biru mengalami tekanan hidup, paling ujung-ujungnya masalah ekonomi. Laki nganggur, tidak punya pekerjaan, bini menjerit, rumah tangga goyah. Ah... begitulah... masalah rumah tangga.

Di era krisis moneter seperti ini memang semua serba sulit.

Kakakku menelan ludah sejenak melihat pemandangan itu. Lalu kami pun berlalu lanjut berjalan.

"Terus kalau mantan istri kamu di mana sekarang dek?" tanya kakakku.

"Oh, dia sih tinggal di kampung sebelah, dikasih rumah mewah sama suami barunya."

"Dia nggak pernah tengokin Eri?"

"Duh, nggak tau deh kak, nggak usah dibahas lah soal dia." kataku.

"Jadi itu sebabnya kamu sekarang jadi banci? Karena kalah bersaing di dunia cowok?" tanya kakakku.

"Ah, kakak masih aja tanya soal itu, kakak sendiri ngapain jadi laki? Karena takut hidup di dunia cewek?? Hayoo!?"

"Ehehehehe... ya ampun, kakak cuma bercanda... duh kamu nih serius amat sih Rik." ledek kakakku.

"Tapi nggak lucu kak..." kataku yang serius.

"Eh... iya... maaf..." kata kakakku yang langsung menghentikan langkahnya.

"Nggak lucu... kalau aku jadi cewek aku dikatain banci... kalau cewek yang jadi cowok paling cuma dikatain tomboi." kataku dengan suara serak. "Sebenarnya kakak masih bisa pulang dan tinggal di sini, masih ada yang akan menerima kakak. Sedangkan aku... aku yang nggak bisa... Semua yang ada di tubuh dan jiwaku sudah berubah." kataku dengan suara lirih.

"Astaga... Rik... maafin kakak... kakak nggak bermaksud menyinggung perasaan kamu." kata kakakku sambil memelukku.

"Hiks... maaf kak... koq aku jadi tersinggung... udah aku nggak apa-apa koq... nggak tau nih sekarang aku makin cengeng, dikit-dikit nangis... payah..." kataku.

Tapi sih ya memang sakit dikatain banci, karena sebutan itu cuma buat laki-laki yang berubah menjadi perempuan, sesuai stigma dan pandangan masyarakat. Stigma yang memberikan 'kotak' dan 'ruang' untuk memisahkan apa yang dianggap normal dan tidak normal. Perempuan tomboy masih lebih diterima di masyarakat ketimbang laki-laki banci sudah dianggap sesuatu yang tidak normal.

Kakakku mengajakku duduk dan menenangkan diriku dulu, setelah aku sudah agak tenang barulah kami melanjutkan jalan kaki ke rumah pak Bagus yang sudah tidak jauh lagi dari tempat kami

Banci TerminalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang