40 - Pria Yang Berkelana Dengan Air Mata

2.3K 79 12
                                    

Hari ini aku terkejut saat melihat lahan tempat pak Bagus sudah ada tulisan "DIJUAL", rumah beserta tanah, kebun dan segalanya dijual. Pak Bagus sudah tidak lagi berada di sana.

Kakakku pun juga ikut kaget. "Eh... kemarin kamu ngapain aja Rik sama pak Bagus?? Koq tiba-tiba doi menghilang gitu?? Kamu ngomong apa sama dia?" tanya kakakku saat kami melewati tempat tersebut.

"Nggak... ngomong macam-macam sih... biasa aja." kataku.

"Duh, koq tiba-tiba tuh rumah sama kebun semua dijual?? Trus pak Bagus ke mana tuh?" kata kakakku.

Hari ini aku dan kakakku kembali membantu ibu di toko, karena ibu saja yang belum punya pegawai, sementara bapak kan sudah punya si Sutampan dan Mobilando yang jadi kuli di kebunnya.

Sementara anakku Eri hari ini pergi ke kebun bapak, tapi ia cuma membawakan makan siang saja untuk bapak dan kedua pembantunya itu. Anak itu sama seperti diriku yang tidak kuat panas-panasan dan lelah-lelahan.

Selesai menemani mereka semua makan siang, lalu ia akan membereskan peralatan makan, membawanya pulang dan mencuci semua peralatan dapur sampai bersih dan rapih.

Ia juga sudah tau rutinitasnya membuatkan bapak dan kedua pembantunya itu cemilan gorengan dan kopi panas untuk istirahat sore. Anakku ini sudah pintar masak juga dari kecil, aku mengajarkannya membuat gorengan dan untuk ukuran anak seumurannya ia sudah bisa melakukan rutinitas yang kuajarkan itu. Ia akan mengantarkannya kepada mereka lalu setelah itu ia main ke tempat temannya yang namanya Nadia itu.

Setiap anakku pulang dari rumah Nadia aku yang jeli dan sangat sensitif dengan aroma berbagai jenis kosmetik selalu dapat melihat sisa bekas lipstik yang sudah terhapus dan aroma bedak yang masih menempel di wajah anakku. Aku tau anakku pasti main dandan-dandanan sama teman ceweknya itu, tidak menutup kemungkinan juga ia sudah merasakan bagaimana rasanya memakai baju wanita yang pastinya dipinjamkan oleh temannya itu.

Sewaktu istirahat aku dan kakakku minta ijin ke ibu buat ngopi sambil makan jajan di warung biar ganti suasana. Ternyata ada pak RT di dalam sana bersama bapak-bapak sosialita juliters kampung. Di kampungku bukan cuma ibu-ibu aja yang suka nongki-nongki bergosip.

Saat kami berada di warung kami mendengar seliweran omongan mereka yang sedang asik bergosip di warung tersebut.

"Waktu pamit sama saya, dia kayak lagi habis menangis gitu. Matanya sampai sembab. Dia bilang kalau dia ingin pergi untuk mencari jati-diri." kata pak RT.

"Jati diri gimana pak RT?? Udah tua gitu??" kata seorang bapak lainnya.

"Wah, ndak tau saya..." kata pak RT.

"Aneh... dulu dia nikah baru enam bulan eh... tau-tau ditinggal kabur sama bininya. Ndak ada yang tau gimana ceritanya. Trus abis itu dia ndak pernah mau kawin lagi."

Dari tuturan pak RT, rupanya Pak Bagus sudah pergi meninggalkan kampung udik Balekenthu, katanya pak RT, pak Bagus cuma pamit malam hari itu dan udah aja langsung pergi bawa tas ransel. Rumah, tanah, beserta kebun semua dijual, hanya pak RT yang dititipkan kunci cadangan.

Isi dalam rumah itu sudah tidak ada apa-apa lagi, hanya perabot yang ditinggalkan begitu saja, tapi sudah tidak ada barang berharga lagi. Kalau ada yang mau merampok ya, paling-paling cuma dapat TV dan kulkas saja yang sebenarnya sudah dihibahkan bagi siapapun yang membutuhkan.

"Rik... kamu apain bapak itu sampai dia pergi seperti itu?" kata kakakku berbisik padaku.

"Astaga kak... aku ga apa-apain bapak itu..." kataku balas membisik.

"Eh... ada putra putrinya pak Darmin... ya ampun, nak Wulan makin cantik aja... udah punya calon belum?" tiba-tiba pak RT menegur kami saat menyadari kehadiran kami di sana.

Sudah barang tentu yang disorot sebagai Wulan adalah diriku.

Semua bapak-bapak di sana langsung matanya jalang menatap ke arahku sambil tercengar-cengir menyeringai sampai kelihatan gigi mereka yang kuning-kuning sampai mata mereka juga menyipit dan membentuk huruf "U" terbalik.

"Kalaupun belum punya calon saya nggak minat sama bapak-bapak tua bangka genit, apalagi aki-aki bau tanah, dan terlebih lagi saya ndak minat poligami apalagi kawin siri." kataku mentah-mentah.

Kakakku menutup mulutnya geli menahan tawa.

Sementara bapak-bapak genit itu kembali menghadap ke cangkir kopinya masing-masing karena sudah ambyar dengan semprotan ucapan dari mulut seorang Rika Vanessa.

Akhirnya aku dan kakakku kembali mengobrol berdua. Setelah para bapak-bapak sosialita julitawan kampung itu minggat kakakku kembali kepo mengorek cerita dariku.

"Eh! Serius dek?? Kamu ngapain kemarin?? Kenapa pak Bagus sampai mendadak pergi seperti itu?" tanya kakakku.

Banci TerminalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang