Catatan Buat Anakku

2.3K 50 37
                                    

Kreek... suara kamar mandi terbuka, aku baru saja selesai mandi, kubungkus tubuhku dengan handuk dari dada sampai pangkal paha. Rambutku yang telah panjang sepunggung kubiarkan masih tergerai setengah basah. Aku melangkah ke depan meja riasku, rutinitas harian yang selalu kulakukan tanpa bosan.

Setelah mengeringkan tubuh aku memakai body butter di tangan dan kaki untuk kulit lembab dan lembut sepanjang hari, lalu semprot parfum di leher dada dan pergelangan tangan.

Baru saja aku mengancingkan tali BH ku, "Mama..." suara anakku memanggilku, ia langsung saja nyelonong masuk kamarku dan nemplok padaku yang masih setengah telanjang, aku memangkunya sambil menyambutnya kolokan denganku.

Anakku itu sudah kelas 6 SD tetapi masih saja senang bermanja-manja padaku, mamanya. Anak lelaki berwajah putih manis, bibirnya merah alami yang kuberi nama Eri Hariyadi Ivanes. Anak itu juga masih senang dimandikan olehku, tapi pagi ini kusuruh ia mandi sendiri agar terbiasa dan tidak terlalu sering bergantung padaku mengingat sebentar lagi ia mau akil baliq.

"Ayo Eri, siap-siap pakai baju nak, kan mau berangkat sekolah." kataku.

***

Eri masih terus bersekolah di Yayasan Pelangi. Yayasan tersebut punya program wajib belajar 9 tahun, dan setelahnya ada Sekolah Menengah Kejuruan yang setara SMA untuk lebih fokus mengasah skill dan kompetensi. Karena yang dibutuhkan di era millenial seperti sekarang ini adalah skill terutama soft skill, kreatifitas, kecerdasan, kemampuan adaptif dalam berbagai situasi. Pelajaran kolot dan ijasah minded sudah tidak berlaku apalagi di perusahaan-perusahaan asing.

Yayasan Pelangi tidak punya universitas, karena dasar pendidikan mereka yang bukan ijasah minded, mereka mendidik para lulusan agar bisa mandiri dan menjadi pelaku bisnis bukan buruh berijasah.

Tetapi, kalau ada lulusan yang tetap akan melanjutkan kuliah, mereka bisa berkuliah di kampus umum, karena mereka sudah dididik untuk bersosialisasi dengan normal di lingkungan umum.

***

Eri anakku masih dengan gejala-gejala disforia gendernya.

Nah, ini satu hal yang agak takut kubahas.

Semakin hari anakku semakin nyaman dengan penampilan dan pakaian anak cewek. Setiap hari melihatnya bertingkah feminim, dengan suara imut-imutnya, melihat caranya bermanja padaku dan mas Andra. Aku kadang nyaris lupa kalau anakku itu cowok, aku nyaris terbiasa dengan menganggap anakku itu cewek.

Suamiku sih tidak pernah keberatan dengan orientasi gender Eri, karena toh ia juga menikahi aku yang notabene wanita transgender. Kulihat Indri juga tidak mempermasalahkan sifat dan penampilan Eri.

Tapi... apakah Eri sudah semakin menemukan jati dirinya sendiri? Padahal usianya masih begitu kecil. Apakah aku harus mendukungnya? Padahal aku sudah berusaha menjadi pihak yang netral, memberinya pilihan.

Aku menyediakan baju anak cowok dan baju anak cewek, tetapi ia lebih memilih untuk memakai baju cewek. Herannya ia dapat membedakan yang mana kaus cewek dan mana kaus cowok.

Apakah ini karena memang suara hatinya seperti halnya yang dialami Ecchi, atau hanya karena ia semakin terbawa pergaulan di sekolah Pelangi? Apakah mungkin suatu hari nanti ketika ia dewasa ia sadar tentang jati dirinya yang seharusnya dan akhirnya ia akan kembali menjadi laki-laki?

* * *

Akhirnya aku mengkonsultasikannya lewat video call kepada Dokterku yang ada di Thailand, siapa lagi kalau bukan Med Ru Himpong.

Cara yang tepat untuk menangani disforia gender adalah dengan tidak menanamkan pikiran bahwa 'hal itu salah'. Hal itu tidak 'salah', hal itu hanyalah sesuatu yang 'berbeda', dan berbeda itu bagus, membuat kita belajar untuk lebih memahami sesuatu yang tidak kita pahami.

Banci TerminalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang