Lalu perlahan lelaki itu membuka hoodie penutup kepalanya.
Saat wajah itu terbuka di hadapanku... aku pun spontan terkejut bukan main setengah mati.
Kulihat wajah yang sangat mirip dengan wajahku dulu ketika masih jadi Riko versi cowok tapi bedanya yang ini lebih ganteng dan macho. Rambutnya cepak berdiri seperti potongan army.
"Tu—tunggu!!?? Kamu siapa???" tanyaku yang terkejut bukan main seperti melihat kembaranku versi keren.
"KAMU SENDIRI SIAPA!!??" balas cowok itu yang juga nampak terkejut keheranan melihatku.
"A—Aku... aku Ri... Riko..." kataku.
"Ri—Ri... Riko??????" suara cowok itu melunak dan melembut sekarang nampak mendekati seperti suara rendah wanita.
"Eh... kamu... kamu masa???" aku nyaris tidak percaya kalau orang di hadapanku ini sesuai dugaanku.
Kami saling menatap heran. Aku sendiri terkejut, bingung, kalut, galau, entah apalagi kata yang mau kugunakan untuk menggambarkan perasaanku saat ini.
"Kamu Riko??" tanya orang tersebut.
"Iya... aku Riko Ivanes." kataku.
"Kk—kk kamu!! Riii... Ri... Rikooo!!!???@#$%^&" ia berteriak shock.
Kami pun terdiam sejenak.
"Astaga... Riko... kenapa kamu jadi gini??" katanya padaku.
"K—Ka... Kamu... kamu... Mmm—mm... mmbaak... Wu.. Lan...????" tanyaku dengan suara gemetar.
Orang itu mengangguk pelan.
Seketika aku pun lemas bukan main, lututku nyaris terasa tidak mampu menopang tubuhku. Cowok di hadapanku ini adalah wanita berpenampilan pria, yang tak lain dan tak bukan adalah kakak kandungku sendiri.
"Wow... ini Wulan..." Rosa menunjuk padaku, "Ini Riko..." Rosa menunjuk mbak Wulan. "Kalian bener-bener kalian mirip..." kata Rosa yang terpana memandang wajah kami berdua.
"Mbak Wulan???" kataku.
"Riko... astaga... adikku!!???"
"Iya... ini aku mbak... aku Riko..."
"Riko... ke... kenapa dengan kamu???"
"Mbak juga kenapa???" tanyaku yang tidak kalah herannya melihat penampilan kakakku.
Rosa memandang kami berdua yang saling menatap heran, lalu dengan cepat ia memungut kunci yang tadi terjatuh dari tas mbak Wulan dan membuka pintu kamar mbak Wulan.
"Udah, kita di dalem aja ngomongnya gimana?? Jangan di depan kamar, nanti nggak enak ada orang lewat didengar." kata Rosa yang lalu menggiring aku dan mbak Wulan masuk ke kamar.
* * *
Ternyata tukang becak bernama mas Surya itu bukanlah laki-laki, ia adalah kakak kandungku Wulansari Ariani.
"Riko... astaga... ini benar kamu Riko Ivanes?? Kenapa kamu jadi begini??" tanya mbak Wulan.
"Mbak Wulan!!!!?? Mbak sendiri kenapa jadi seperti ini? Apa yang terjadi??" tanyaku.
Mbak Wulan terdiam, kami berdua sama-sama terdiam. Rosa juga hanya diam di pojokan.
"Tunggu... Riko Ivanes!! Kamu duluan yang cerita, apa yang terjadi, kenapa kamu kayak gini? Ngapain kamu jadi banci?" tanya mbak Wulan melotot ke arahku.
"Lho, koq, nggak adil!!?? Aku pakai baju cewek koq dikatain banci? Apa kabar mbak? Rambut cepak kayak cowok, pake baju cowok."
"Ini tuntutan hidup! Aku kerja sebagai tukang becak, aku harus nyamar jadi lelaki supaya tidak dilecehkan sembarang orang. Kamu kenapa jadi banci??" kata mbak Wulan.
Aku kaget dan terdiam, aku juga mau bilang kalau ini juga tuntutan pekerjaanku, tapi masa aku mau bilang pekerjaan yang kulakukan. Mbak Wulan bekerja keras sampai jadi tukang becak, sementara aku malah jadi PSK. Ironis sekali... Walaupun kami punya kesamaan, yaitu sama-sama tidak pernah pulang karena alasan masing-masing.
* * *
"Mbak... bapak sama ibu nyariin mbak. Kenapa mbak nggak pernah pulang walau sebentar saja." kataku.
"Aku punya alasan ku sendiri Rik... tapi... tunggu dulu, kenapa kamu jadi seperti ini Rik? Apa yang terjadi sama kamu?"
"Ceritanya panjang mbak." kataku.
Kami terdiam saling memandang. Tapi lama kelamaan perasaan ini tak dapat dibendung juga, akhirnya kami pun sama-sama mendekat dan tangan kami saling merangkul. Ternyata air mata pun ikut lumer basah di pipi.
"Hiks.. hiks... Riko... maafin dulu mbak tinggalin kamu makanya kamu jadi kayak gini ya?"
"Hiks.. Mbak... jangan bilang gitu, yang penting sekarang aku bisa ketemu mbak lagi."
"Ya udah, kan sekarang kita udah ketemu, kamu nggak buru-buru kan pergi dari Jogja?"
"Aku kangen sama mbak..." kataku.
Mbak Wulan memandangku dan kami pun saling bertukar pandang, menempelkan kening, air mata kerinduan ini belum juga berhenti mengalir, akhirnya kami berpelukan lagi.
Ya ampun, tubuh mbakku benar-benar keras dan penuh otot. Pundak, bahu, lengan, sampai punggungnya pun terasa tebal dan keras, kecuali bagian dadanya yang masih tak dapat dipungkiri ada sesuatu yang terasa empuk walaupun kecil dan nyaris rata.
"Apa yang terjadi padamu mbak..." kataku.
Saat kakakku melonggarkan pelukannya aku bertukar pandang dengannya, mbak Wulan menghapus air mataku yang meleleh di pipiku.
"Duh... Riko... adik mbak, dosa apa mbak mu ini sampai adikku jadi seperti ini."
"Jangan bilang gitu mbak, yang penting sekarang aku bisa ketemu sama mbak Wulan lagi. Jangan pernah pergi menghilang lagi mbak." kataku.
"Ya udah, yuk kita tukeran cerita." kata mbak Wulan sambil tersenyum memandangku.
Lalu mbak Wulan membuatkan kopi dan mengeluarkan makanan yang ada di lemari dapurnya. Ia juga mengeluarkan sebungkus rokok merk Djaroem Pentoel Filter.
Aku tidak berkomentar apapun, lantas aku dan Rosa pun juga masing-masing menyalakan sebatang rokok. Mbak Wulan juga nampak tidak berkomentar melihatku yang menghisap sebatang rokok filter itu.
Kami bertiga sama-sama ngebul, langit-langit kamar kosan itu pun penuh asap putih campuran karbon monoksida dan residu bakaran campuran tar dan nikotin.
Mbak Wulan pun memulai ceritanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Banci Terminal
Algemene fictiePERINGATAN: BACAAN KHUSUS 21++ Mengandung unsur LGBT, Transvestisme, Transgender, Transexual, Bigender, Genderqueer. * * * * * * Riko Ivanes memiliki seorang istri yang sangat cantik bernama Indri Arianti, mereka dikaruniai seorang anak lelaki berna...