Alarm

73 13 0
                                    

Beep beep beep beep

Alarm burung hantu mulai gaduh menandakan Emma harus sudah bangun dan pergi sarapan. Ia pun langsung melakukannya. Ketika di meja makan, ia agak sedikit pangling dengan gaya rambut Miller yang dicukur pendek-pendek. Terlalu pendek untuk seukuran biasanya.

Begitupun dengan Albert yang baru saja mengusap-usap dagu bawahnya yang mulai berjenggot. Kenapa semua orang tampak berpenampilan berbeda pagi ini?

Emma menoleh, Alex duduk di bangkunya sembari mengatupkan bibir seperti sedang diberikan lem perekat. Ia tak mencukur rambut, ataupun tumbuh jenggot.

"Hi," sapa Emma tak yakin. Alex hanya menengadah sesaat dan mengangkat alis. Moodnya tampak sedang tidak ingin diresahkan. Emma pun kembali menggerling ke meja makan, dan lagi-lagi harus menerima fakta bahwa ia adalah satu-satunya perempuan di rumah ini.

Tapi tak apa. Ia sudah terbiasa. Fransesca masih saja sibuk mengurus gigi orang-orang, dan semakin bertambah pasien ketika pindah klinik ke London. Entah kapan ia akan pulang. Emma sangat merindukan kakak perempuannya itu.

Juga tak lupa dengan perceraian Stephanie dan Miller sejak seminggu yang lalu. Sisi baiknya, tidak ada lagi duka. Miller seolah memecahkan balon udara dan semua orang merasakan ketegangan luar biasa setelahnya, namun semua menjadi stabil dalam sekejap. Walau Miller perlu waktu, begitupun Stephanie yang tak kunjung berhenti menanyakan kabar kepada si kembar. Stephanie sempat berkata menyesal karena telah meninggalkan Emma dan Alex sehingga mereka harus kehilangan sosok ibu untuk kedua kalinya.

"Tak apa, kami baik-baik saja." Begitulah yang Emma katakan dengan sebisa mungkin bisa menenangkan. Ia sudah terbiasa bersandiwara dengan semua senyuman dan nada ceria palsu itu.

Emma menghela nafas pelan. Ada yang aneh di meja makan. Albert berulang kali diam-diam melirik Alex yang menahan untuk tidak terbatuk. Miller tampak santai saja, menatap laptopnya yang menyala dan menampilkan diagram sesuatu. Tapi ketiga kakak lelakinya seperti mengetahui sesuatu, kecuali dirinya.

Emma mengambil selai kacang dan menaruhnya di atas roti miliknya. Alex makan sambil menatap piringnya. Sebelah tangannya mengusap-usap lehernya.

Tak ada yang berkata apa pun. Semua masih tampak sama. Kaku, diam, canggung dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Tapi untungnya itu berlaku ketika di meja makan saja.

"Daftarnya sudah lengkap, 'kan?" Miller nyatanya baru saja membaca catatan dari ponsel Alex. Anak itu mengangguk. "Baiklah. Nanti sore Albert akan mengantarmu."

"Kemana?" Emma bertanya, membuat semua orang menoleh.

"Kau lupa ya? Besok 'kan hari Senin. Hari baru untuk Alex. Kita harus membeli beberapa peralatan sekolah," jawab Albert antusias. Emma mengangkat kepala ke langit-langit ruang makan. Bagaimana bisa ia lupa bahwa Alex akan satu sekolah dengannya dalam hitungan jam?

"Ya ampun." Emma tak bisa membayangkan seorang Alex yang tidak bisa diam akan berada satu gedung almamater bersamanya dimulai dari besok pagi. Emma senang sekali dia akan punya teman yang benar-benar mengenalnya di sana. Tapi, Alex harus beradaptasi. Dan nampaknya anak itu sedang gelisah soal ini.

"Aku senang sekali Alex akhirnya mau bersekolah dan bertemu teman-temannya," kata Miller tersenyum bangga. "Lagipula kau akan mati berjamur bila terus melanjutkan program homeschooling."

Alex melotot. Ia tak menyangka ternyata Miller diam-diam kurang setuju ketika ia memilih untuk mengambil program homeschooling. "Benar, Alex. Dua tahun sebelum masuk kuliah. Setidaknya kau harus merasakan nongkrong di lorong dan bersandar di lokermu sendiri." Albert ikut berpendapat.

"Aku tak peduli dengan lokerku," sahut Alex.

Emma terbatuk. Alex buru-buru menutup mulutnya. "Alex?! Apa-apaan kau?!" Emma berteriak di sebelahnya. Telinganya pasti salah dengar. Suara Alex seperti bukan suara Alex.

"Sudah kuduga. Ia pasti shock sekali," ujar Albert, melipat kedua tangannya di dada, siap menyaksikan pertengkaran yang akan dimulai.

"K-kau puber?" Emma bertanya pelan.

Alex menggeleng-geleng, memilih untuk memasukkan suapan terakhir rotinya. Sedari tadi ia menahan untuk tidak bersuara, dan Albert berhasil memancingnya.

"Curang!" Emma berseru, nafsu makannya sudah hilang.

"Apa salahnya sih puber duluan?" Alex benar-benar mengeluarkan suara berat lelakinya. Pertanyannya membuat Emma sedikit tersinggung.

"Kukira kau mengerti," sahut Emma sedih.

Tentu saja Alex mengerti. "Aku tidak tahu, Emma. Sungguh! Semua terjadi dalam semalam dan aku bangun kehilangan suara cempreng yang sangat kucintai itu! Oh ya Tuhan!" Rupanya Alex pun tidak menyangka jakun di lehernya kini bekerja secara maksimal.

Miller menyodorkan ponsel milik Alex sambil berkata, "Tak apa-apa ya Emma. Mungkin besok kau juga akan puber." Miller mencoba menenangkan Emma yang benar-benar merasa sedih. Emma mengharapkan hal yang sama, bahkan sejak ia berumur 14 tahun. Namun tak ada tanda-tandanya hingga saat ini. Yang selama ini ia rasakan selalu soal siklus emosionalnya saja.

Alex menarik-narik ujung rambut Emma yang terurai. Anak itu memeluk kembarannya, merasa tak enak dengan apa yang baru saja terjadi.

"Menyebalkan tahu gak." Emma merasa kesal, jelas karena apa. Semua orang sudah terbukti akan beranjak dewasa, sedangkan ia masih mengkhawatirkan tubuhnya sendiri.

Alex mengeluarkan suara tawa seperti lelaki dewasa. Lalu ia pun bertanya, "Itu artinya aku harus mulai mencari seorang gadis, 'kan?"


HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang