Taylor memandang dirinya sekali lagi melalui kamera ponselnya. Rambut curlynya sudah lebih dari rapih, begitupun dengan jas abu yang ia kenakan.
Sopir yang dikirim Effingham untuk mengantarnya pun merasa senang membawa seorang guru dengan penampilan yang sangat tertata. Mobil alphard hitam melaju gagah menuju kompleks dimana rumah Emma berada. Taylor sungguh bergairah, antara tak sabar melihat Emma dan gembira memiliki kesempatan untuk mengenal gadis itu lebih dekat lagi.
Ingat, Taylor. Posisimu adalah guru dan murid. Kepala Taylor mengingatkan dirinya sendiri.
~~~
"Siap?" tanya Alex.
"Siap," jawab Emma berdebar-debar.
Tepat pada saat itu, Miller ikut mengintip dari pintu kamar Emma. "Gadisku cantik sekali," ucapnya.
Alex tersenyum lebar, sedangkan Emma untuk beberapa saat merasa pipinya memerah. Benarkah yang ia dengar itu? Miller memujinya?
"Terimakasih... itu manis sekali," ujar Emma malu-malu. Tak pernah ia mendengar pujian sebaik itu dari mulut Miller secara langsung. Emma jadi mendapat rasa percaya diri bahwa ia memang cantik.
Kukira itu hanya bualan teman-teman saja...
Wajar, ia tak memiliki sosok seorang ibu selama hidupnya. Dan perkataan Miller yang secara tak langsung kini adalah ayahnya, ia teramat senang.
Miller menyingkir dari sana. Entah kenapa ada perasaan aneh yang membalut hatinya sekarang ini. Rasanya seperti membanting diri ke tumpukan bunga yang harum.
Ternyata mengapresiasi tidaklah sulit...
Emma dan Alex duduk di ruang tamu. Emma terus bergumam menghafalkan nama-nama seniman yang diperkirakan akan ada di ujian lomba nanti. Sampai-sampai kertas catatannya sudah kusut tak berbentuk. Miller berdiri ikut menunggu, ia terus memperhatikan Emma yang sangat rupawan. Tiba-tiba, matanya terasa panas. Ia ingin sekali menangis sekarang. Membayangkan Emma diberikan kepada lelaki lain saat ia nikah nanti membuatnya tersadar Emma adalah harta yang harus ia jaga seutuhnya. Jangan sampai gadis Miller itu jatuh ke tangan yang salah.
"Gurumu datang." Robert berkata dari arah teras. Miller tersadar dari lamunannya--ada setetes air mata yang telah jatuh tanpa ia sadari.
Emma langsung berdiri, diliriknya Miller yang mengusap matanya.
"Are you okay?" tanya Emma lembut.
Miller menatap Emma. "Aku tidak apa-apa. Semoga berhasil ya." Tangan besar Miller mengusap puncak kepala Emma yang tersenyum.
Alex menoleh ke belakang, dengan mulut setengah terbuka. "Wow... Lihatlah dia..."
Emma berbalik dan disitulah lelaki itu berjalan dengan gagah dari gerbang ke arah mereka. Alex berjinjit dan menahan teriakan, terus menoleh pada Emma.
"Dang, dude!" Alex terpukau, lalu berbisik, "Dia lebih tampan dari Tom."
Emma mengatupkan bibirnya, tak menjawab apa-apa.
Tom juga tampan, Alex...
Tapi ia memilih untuk tidak merespon saudaranya yang polos itu. Bisa-bisa Alex mengira ia masih menyimpan rasa pada Tom. Bersama Alex melontarkan satu kalimat saja urusannya bisa menjadi panjang.
"Taylor," sapa Robert mengangkat tangan ber-tos dan saling menepuk punggung khas lelaki dewasa . Miller langsung berjalan mendahului Alex untuk bersalaman. Seketika itu, mata Taylor terpaku dengan tubuh tinggi besar Miller yang menyeramkan. Wajah Miller yang tak bisa disebut berseri-seri itu agak mengintimidasi. Taylor agak menyesali diri kenapa ia tak bersiap menghadapi lelaki ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAUTE VALUER [COMPLETED]
General Fiction🎨WAKE ME UP WHEN I SLEEP 2 🎨 Seorang guru seni lama bernama Mr. Taylor yang baru saja menyelesaikan studi strata duanya kini datang untuk mengajar kembali. Kehadirannya sangat membawa keuntungan bagi sekolah. Salah satunya membuka kembali Klub Tea...