Terapi

22 6 0
                                    

-Emma-

Aku tidak percaya apapun yang Alex katakan soal Mr. Taylor. Barangkali dia hanya terlalu berharap guruku itu dapat menjadi pasanganku, karena Alex melihat sosok Mr. Taylor yang begitu mirip dengan Tom.

"Aku merasa Mr. Taylor adalah versi yang lebih baik dari Tom. Hanya saja beda orang dan sepertinya dia tidak emosian," ucapnya pada suatu siang yang mendung di sekolah.

Aku tak tahu bagaimana cara merespon anak itu. Dia jadi banyak bicara dan terus berasumsi mengenai sesuatu yang dilihatnya, terlepas hal itu benar atau tidak.

Tapi di samping itu, aku senang melihat perkembangan Alex yang membuatnya menjadi anak remaja lelaki yang 'normal' dan sudah mengetahui pergaulan di lingkungan sosial.

Kini, aku tengah menggoyangkan kedua kakiku seperti biasanya. Duduk dengan buku sketsa yang sudah dicoret-coret sedemikian rupa. Aku berhenti sejenak, lalu melihat halaman rumah Bibi Jade yang begitu luas. Diam-diam, aku berharap mobil sedan hitam milik Tom itu akan pulang.

Ah, apa pikirku? Dia sudah sibuk dengan dunia kuliahnya sendiri.

Lalu aku merasakan hal yang tak nyaman. Jadi, aku pun menggambar sebuah gelas di atas meja dengan isinya yang tumpah.

Aku mengangkat buku sketsaku. Kurasa gambarku kali ini cukup segini saja.

Seorang anak perempuan yang tengah bercermin, dengan meja rias yang berantakan oleh semua peralatan kecantikan. Dan tentu saja, gelas yang tumpah itu.

"Aku beri judul, Refleksi Kehancuran," kataku saat menyerahkan buku itu ke Bibi Jade.

Wanita berumur 42 tahun itu mengangkat bukuku dan seperti biasa, tersenyum kagum sebelum menyiapkan telinganya untuk mendengar ceritaku.

"Duduk sini," ajaknya lalu menyingkirkan beberapa majalah di sofa di depannya. Aku duduk lalu memandang sebentar ke kaca besar yang langsung mengarahkan ke pemandangan kolam renang. Aku merasa nyaman dan kerasan, sembari menunggu Bibi Jade meneliti gambarku.

"Tangannya terluka," ucapnya.

Aku mengangkat sepuluh jari tanganku yang merah-merah. "Bibi Jade," panggilku agar ia melihat tanganku.

Bibi Jade melihat jemariku yang setiap sisi kukunya merah dan agak mengelupas. "Kau cemas lagi?"

Aku mengangguk pelan. "Dua hari ini."

Bibi Jade terdiam dan menyimpan gambarku di atas meja sambil membetulkan posisi duduknya. "Apakah ada yang mengganjal di pikiranmu, sayang?"

Aku mengangguk mantap. "Ada," kataku lalu bersiap sejenak untuk bercerita.

Ayo, Emma... Ceritakan lagi... Kau sudah mulai berani. Ayo, jangan malu...

Aku menatap Bibi Jade yang menatapku ramah. Hatiku semakin yakin untuk mulai mengatakan apa yang selama ini kurasakan.

"Aku tidak pernah merasa setakut ini saat ke sekolah," kataku. "Alex sudah punya banyak teman baru. Dan seperti yang kau tahu, teman-temanku sudah tidak mau bergaul denganku lagi."

Bibi Jade mengangguk mendengar penuturanku. Ia sangat mengerti bahwa yang kumaksud adalah masalah Edward, Farrah, Katherine, dan yang lainnya.

"Terkadang aku merasa kesepian dan..." ucapanku terpotong. Rasa segan itu tiba-tiba datang lagi.

Mulutku menjadi kaku. Aku khawatir Bibi Jade akan menyalahkanku.

Apa yang ada dipikirannya saat ia tahu aku selalu disebut jalang kecil yang lugu?

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang