Badai di Effingham

20 6 0
                                    

Awan hitam dingin menyelimuti langit Effingham. Angin menderu-deru kencang, menghantam jendela yang bingkainya terbuka.

BRAK!

Penyangga jendela terlipat tersenggol angin, diiringi suara terkejut di dalam kelas. Rambut Emma sedikit berkibar, ia menyipit menatap halaman di luar sana. Pohon di sisi lapangan bergoyang-goyang mengerikan. Seketika pandangan begitu redup, pemandangan di luar sana gelap dan mengancam.

Kilat berkedip tiba-tiba.

Emma membungkuk selagi teman-temannya bersiap sambil menutup telinga mereka.

DUAAAR!

"Aaaaaa!" Semua anak cewek berteriak panik. Suara petir yang menyambar seolah menggetarkan dinding sekolah. Emma menyentuh dada sebelah kirinya, menenangkan jantungnya agar tidak ikut-ikutan berdebar kencang.

Ms. Evans membetulkan kacamatanya sambil menutup buku besar di tangannya. "Setelah bel pulang harap cepat pulang. Jika--"

Hujan pun turun begitu deras, air tumpah sekaligus tanpa ampun.

"Jika hujan kalian tetap diam di sini sampai badai reda," sambung Ms. Evans yang ucapannya terpotong.

Emma menautkan jemari tangannya yang dingin, sedingin udara di luar sana. Mereka semua pun melanjutkan pelajaran selama setengah jam. Diiringi rintik deras hujan, angin yang mengamuk dan kilat yang berkedip-kedip tanpa henti.

Kriiiingg...

Suara bel sekolah tidak lebih kencang dari suara badai detik ini. Anak-anak Effingham mengeluh tidak bisa pulang, padahal pelajaran hari ini dilalui dengan berat.

Hal yang dilakukan Emma adalah berterima kasih kepada Ms. Evans dan buru-buru keluar kelas sambil mencari Alex.

Kelas geografi!

"Kau lihat Alex?" tanya Emma kepada seorang teman bermata sipit.

"Dia ada di dalam," jawab cewek itu.

"Trims," ucap Emma dan masuk ke dalam kelas geografi. Ia langsung diterjang tatapan yang tak bisa ia terka maksudnya. Ada yang memuji dalam hati dan terkesan Emma masuk ke dalam kelas pelajaran lain yang masih penuh sesak.

"Alex," panggil Emma. Lelaki itu baru saja berdiri dan menggendong tasnya. Louis dan Arthur yang sekelas dalam pelajaran geografi menoleh. Arthur menatap Louis, memberinya kode bahwa Emma hadir di sana.

"Kita ke ruang guru sekarang saja," ujar Alex. Emma langsung setuju.

Sesampainya di sana, mereka mengetuk pintu ruang guru, dan para guru menyuruh mereka untuk masuk. Ruangan itu begitu hangat. Banyak guru berkumpul seraya menyeduh teh. Beberapa membuka laptop dan tampak serius. Sementara yang lainnya nampak sibuk berdiskusi bersama murid yang berada di dekat meja. Dan Mr. Taylor berada di mejanya, tidak menyadari kehadiran Emma karena terlalu fokus dengan laptopnya.

Alex dan Emma berjalan kepada Mr. William sambil mengeluarkan buku tebalnya. Ia ada urusan tentang kalkulus atau sejenisnya, dan Emma hanya berdiri di sana tanpa melakukan apapun.

"Emma," panggil Wilson, adik tingkat yang sangat sopan. "Kau dipanggil oleh Mr. Taylor."

Emma menatap Taylor sejenak untuk menyakinkan apakah ia benar-benar memanggilnya.

"Oke, terima kasih Wilson," jawab Emma. Ia melangkah mendekati Mr. Taylor, rasanya ingin sekali membetulkan rambutnya yang ia rasa lumayan kusut. Tapi ia tidak melakukan hal itu.

"Ya, Sir?" tanya Emma ramah.

Taylor menarik kursi kosong dan menepuknya. "Sini."

Emma menurut, meskipun bertanya-tanya mengapa Taylor memanggilnya.

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang