Ujian Lisan

11 4 0
                                    

"Pekan yang berat ya?"

"Aku deg-degan untuk tes akhir pelajaran," jawab Emma. Ia memutar kunci dan membuka lokernya.

Alex bersandar di loker sebelah Emma. "Aku tahu. Kimia, 'kan?"

"Iya," jawab Emma lagi. Ia menarik sebuah foto 12x8 dan menempelnya di pintu dalam loker.

"Sesudah bel kau pelajaran apa?"

"Seni."

Alex mendorong punggungnya untuk tidak bersandar lagi. "Tes lisan?"

"Iya."

"Tidak praktek?"

Emma menatapnya dengan cepat. "Kau seperti orang pikun saja. Seminggu ini 'kan full tes lisan. Masa kau tak ingat?"

Alex menggeleng sambil melongo. "Aku belum menghafal pelajaran seni."

"Kenapa kaget begitu? Malam ini kau bisa menghafalnya," ucap Emma menyemangati.

Alex menggeleng lagi. Ekspresinya kosong. "Kau harus tahu kalau pelajaran seni ditukar dengan pemerintahan."

"Sebelum bel akhir, dong?" tanya Emma.

Alex mengernyit. "Aku menyesal tidak memerhatikan Mr. Taylor saat menerangkan soal teorinya. Kukira itu tidak penting."

"Salah besar," komen Emma.

"Aku tahu," jawab Alex. Kemudian, wajahnya berubah cerah. "Tapi tak apa. Mr. Taylor baik sekali. Dia pasti tidak akan menyeramkan seperti Mr. Jackson saat mengetesku." Alex bergerak menuju loker Emma dan melihat fotonya terpampang di sana.

"Hey... Ini bagus!" seru Alex, memandangi dirinya, Robert, dan Emma yang sedang tersenyum bahagia ke arah kamera. Di belakang mereka, restoran bernuansa klasik terpampang.

"Aku senang akhirnya ada foto lagi yang bisa kutempel," sahut Emma penuh syukur. "Aku bosan melihat wajahmu setiap membuka loker."

Alex mengembungkan pipi, menahan tawa. Ia melihat fotonya dan Emma sedang berada di Disneyland Orlando setahun yang lalu. Mereka berdua memakai bondu telinga Mini Mouse. Hanya itu satu-satunya foto di loker Emma. Foto bersama Robert kemarin bisa menjadi foto ketiga, jika saja foto Emma dan Tom tidak dilepas dari sana.

"Aku akan mengumpulkan banyak foto bersama kalian," Emma menoleh pada Alex.

"Kita cari cara agar bisa berfoto bersama Miller," ujar Alex optimis.

Emma pun menyimpan solatip dan mengambil bukunya.

"Permisi, Genius..." Ada teman perempuan yang rambutnya keriting berkulit sawo matang tengah mengajak Alex bicara.

"Apa?" tanya Alex singkat.

Ia dan temannya saling lirik. "Maukah kau ikut bersama kami ke pestanya Kane? Malam ini."

"Pesta?"

"Tidakkah kau dengar?" Rupanya, gadis di sebelahnya adalah Quinn.

Emma menoleh padanya, namun ia tak menghiraukan kehadirannya.

"Kenapa aku diundang?" tanya Alex.

Kane, anak kasti yang Emma lihat di lapangan tadi datang dan mengkalungkan tangannya di sisi pundak Quinn dan Angela. Tubuhnya tinggi dan wajahnya lumayan menarik. Emma baru sadar ada teman seusianya yang sebesar itu.

"Mereka tidak basa-basi. Aku mengundangmu," jelas Kane agar Alex percaya.

"Teman-temanku?" tanya Alex.

"Arthur, Brian, Louis, Melvin—semua akan ikut. Mereka memintaku untuk mengundangmu—memang aku sudah niat," tutur Kane.

Alex berpikir. Ia ingin sekali datang ke pesta. "Bagaimana dengan Emma?"

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang