Dilema Seorang Lelaki Dewasa

20 5 0
                                    

Matahari kembali menghilang. Digantikan langit yang berwarna gelap dan suasana rumah yang semakin sepi. Alex dan Miller sudah masuk ke kamarnya. Albert belum juga pulang, sementara Robert pergi entah kemana.

Emma sudah mematikan lampu kamarnya, namun tidak dengan layar ponsel di depan wajahnya yang masih menyala. Kurang dari lima menit, Emma saling membalas pesan dengan seseorang dengan nomor tak di kenal yang ternyata adalah kakak perempuan Mr. Taylor, Paulina. Emma belum pernah tahu Mr. Taylor punya saudara kandung. Jadi, sambil menunggu Paulina membalas, Emma membuka Instagram Taylor dan mencari akun Paulina Carpenter untuk memastikan. Tentu saja ia menemukan akun wanita berusia 28 tahun itu diprivasi. Walau begitu, Emma merasa lebih lega karena Paulina bukanlah orang yang terlalu asing. Ia tidak jadi takut seperti sebelum mengetahui pemilik nomor itu.

Emma menunggu Paulina mengetik, sambil berpikir bagaimana bisa orang-orang di luar sana masih sanggup terjaga sampai jam setengah dua belas malam. Tangan kanan Emma yang memegang ponselnya saja sudah cukup gemetar karena lemas dan sangat mengantuk.

Emma berkedip perlahan, membaca pesan dari Paulina yang mengajaknya makan di restoran miliknya. Emma belum sepenuhnya paham karena tulisan itu tampak kian buram. Suara 'Ting!' pesan yang sampai masih bersuara di telinganya. Hingga ponsel itu jatuh dengan pasrah ke atas kasur dan Emma tertidur begitu pulas.

Ia bermimpi seolah mendengar suara Tom di luar pintu kamar. Rasa rindunya membuat bunga tidurnya pun memunculkan lelaki yang Emma akui sebagai cinta pertamanya. Setelah itu, ia tidur seperti orang-orang dengan standar kelelahan yang sudah tak bisa ditoleransi. Tidak bermimpi, sedikit mengeluarkan suara desahan berat saat bernafas, dan aktivitas sehari sebelumnya yang Emma lakukan kembali terekam di penghujung tidurnya.

Ia mendengar suara itu lagi, seolah tidurnya membayang-bayanginya untuk terus mengingat Tom.

"Psst! Psst!"

Emma mengerjap-ngerjap dalam tidurnya.

"Psst! Hey!" bisik Alex membuat kelopak Emma terbuka. Ia menyayangkan kenapa Alex harus membangunkannya saat ia tengah menikmati suara Tom dalam tidurnya.

Sosok Alex yang sudah berbentuk lebih jelas berdiri tepat di sisi ranjang. Memakai sweater merah maroon dan celana pendek hitam sehari-hari. Alex yang tak mendapati Emma meresponnya pun mulai mengguncangkan tubuh adiknya dengan pelan, tak ingin Emma terkejut barang saat dibangunkan.

Emma mengucek mata dan masih tak berniat untuk duduk.

"Ada apa?" tanya Emma mengantuk dengan suara serak.

"Kau tidur lama sekali," komen Alex. Emma tidak menjawab. Alex mendelik. "Dengarkan aku ya..." Alex mendekat dan nampak hendak mengatakan sesuatu yang serius. Ia duduk di sisi ranjang, menatap Emma yang terus memejamkan mata. "Sekarang, aku ingin kau pergi mandi dan memakai baju terbaikmu."

"Mr. Taylor sudah datang?" Emma terperanjat. Alex menunjuk jam. Emma melirik benda yang menunjukkan angka sepuluh itu dan mengangguk tak acuh sekaligus lega. Tadi malam Mr. Taylor sudah mengirimkan jam berapa ia menjemput Emma.

Mr. Taylor Class of Art
Jam 11 👍🏻

Emma
Oke Sir 👌🏻

Dan Emma senang waktu istirahatnya ternyata cukup lama walau melebihi biasanya.

Alex tak menjawab mengapa Emma harus mandi secepat itu. Ia malah berkata, "Dandanlah yang cantik. Percepat pergerakanmu."

"Ada apa, sih?" tanya Emma malas.

"Kau tidak mau, 'kan, keluarga Tom menunggu terlalu lama?"

Emma mendorong Alex yang menghalanginya. Ia melompat dari atas kasur dengan gerakan yang lebih cepat dari yang Alex bayangkan.

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang