Belajar Tambahan

21 6 0
                                    

"Ini adalah catatan beberapa seniman yang paling terkenal. Aku beri waktu sepuluh menit untukmu menghafal nama-namanya. Apakah waktunya cukup?"

Aku mendongak setelah menerima kertas dengan gambar-gambar seniman di tanganku. "Ya, Sir." jawabku mantap. Mr. Taylor pun mengangguk lumayan dalam dan menyingkir dari depan bangkuku.

Saat ia menggerakkan kepalanya seperti itu, bisa kucium aroma pomade seperti yang biasa Albert pakai. Aku menatap kertasku, namun intuisiku memerhatikan Mr. Taylor yang sedang berjalan menuju jendela kelas. Aku menoleh ke kanan sekilas ke arahnya. Ia tengah membelakangiku. Baru kali ini kuperhatikan tubuhnya yang kurus jika sedang tidak memakai jas hitam dan hanya memakai baju kemeja abu muda polos. Tangan kanannya menggenggam pergelangan kirinya. Kedua tangan itu ditaruh di belakang punggungnya.

Aku buru-buru menghafal kertasku lagi saat melihat Mr. Taylor bergeser secara tiba-tiba.

Selama lima menit, aku sudah selesai. Kupejamkan mataku sekali lagi, dan menggumamkan tanpa suara nama-nama seniman itu agar tidak salah mengeja hurufnya.

Aku membalikkan badan. Mr. Taylor berdiri tegak sembari melihatku dari belakang kelas. Seketika aku mengira ia sudah melakukan itu sedari tadi.

"Aku sudah selesai, Mr. Taylor," kataku.

Ia agak mengangkat alis saat mendengarku dan berujar, "Oh--cepat sekali." Lalu ia mengeluarkan suara tawa pelan saat menghampiriku.

"Mari kita lihat," ucap Mr. Taylor lalu mengambil kertasku, kemudian menggantinya dengan kertas kosong.

Aku mengeluarkan pulpen dari tempat pensil yang berbentuk kotak susu. Mr. Taylor melihatnya, dan untuk alasan karena ia adalah guru yang pertama menyadari kotak pensilku, aku merasa agak malu.

"Kotak susu?" Mr. Taylor berjengit.

Karena sudah terlanjur terlihat, aku pun mengangkat kotak pensilku dan terkekeh. "Yeah... Sepertinya begitu..." Lalu aku langsung menyimpannya di dalam tas karena menyesal kenapa harus mengeluarkan kotak pensil itu di depan guru. Padahal selama ini, aku selalu menyembunyikannya bila di dalam kelas.

Mr. Taylor pun melontarkan beberapa pertanyaan mengenai profil seorang seniman, lalu aku menebak siapa seniman itu dengan menuliskannya.

"Pertanyaan terakhir." Mr. Taylor melipat kertas dan menyingkirkannya. Aku berkedip cepat, rasanya ia akan memberiku pertanyaan kejutan. "Siapa... Seniman yang memiliki rambut keriting dan senang melukis?"

Aku menunggu kalimat selanjutnya, tapi ternyata Mr. Taylor tidak melanjutkan klunya. "Itu saja?" tanyaku.

Ia mengangguk. "Ya. Itu saja."

Aku berpikir. Seniman? Berambut keriting? Siapa?

"Dan dia senang memakai kemeja polos," lanjut Mr. Taylor menambah klu sebab aku terlalu bingung untuk menjawabnya.

Aku pun menggerakkan kepalaku pasrah dan menuliskan namanya.

"Sudah," kataku.

Mr. Taylor pun membaca nama seniman itu di kertasku. Wajahnya senang karena aku mampu menjawab secepat itu. Namun, seketika wajahnya berubah menjadi kernyitan.

"Taylor Hal Maxwell Carpenter?" Ia bertanya, lalu mendongak menatapku, ada suara tawa tertahan darinya. Aku mengangguk-angguk yakin tanpa menjawab.

Mr. Taylor kini benar-benar tertawa. Senyumku memudar. "Salah?"

"Salah!" Mr. Taylor menjawab seraya memukul pelan wajahku dengan kertas itu. Aku agak terkejut dengan sikapnya, tapi langsung berasumsi bahwa itu normal dilakukan seorang guru yang ramah seperti Mr. Taylor. "Bob Ross jawabannya, Emma."

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang