Backstage

26 10 0
                                    

"Kathetine! Kau akan ikut 'kan?!" Abigail berlari ke bangku Katherine. "Mereka mengadakan pentas untuk menjadi Belle!"

Katherine menaruh ponselnya, menatap Abigail antusias. "Apa? Benarkah?"

"Princess? Dongeng Si Cantik dan Si Monster, maksudmu?" tanya Ernest di belakang Abigail.

"Iya, tentu!"

"Tidakkah itu terdengar seperti pentas anak-anak?" protes Ernest.

Abigail mengangkat bahu. "Tidak juga. Mr. Taylor pasti membuatnya menjadi lebih menarik. Kalian harus ikut, deh!"

"Aku tidak mau jadi si monster," ujar Mack.

"Dih! Siapa juga yang akan mengajakmu, badut?" ledek Abigail. Mack mendelik kesal. Tetapi hatinya senang diledek olehnya.

"Aku... harus ikut," kata Katherine. Ia berdiri mantap dan keluar kelas untuk mendaftarkan diri di casting pentas drama. Katherine memiliki bakat yang begitu keren di seni drama. Menjadi pemeran utama adalah hal yang ia impikan sejak dulu.

"Apa judul pentasnya?" tanya Edward kepada Mack yang tak tahu apa-apa.

"Aku tak tahu dan tak peduli. Tapi aku akan nonton," kekeh Mack. "Hmmm kau pantas jadi pangerannya, Ed!"

Edward menggeleng pelan. "Tidak, ah. Aku tidak suka bermain drama."

"Tapi tak ada yang lebih tampan darimu di sekolah ini," sambung Ernest meyakinkan. Edward semakin merasa tersanjung. Benarkah apa yang dua anak ini katakan?

"Benar, Ed. Tubuhmu bagus dan wajahmu lebih dari lumayan," kata Mack.

"Ya... Pasti semua gadis akan memperebutkan untuk menjadi peran utama bila mereka tahu kau jadi pangerannya," ujar Ernest lagi. "Kecuali... Dia yang tak tahu diri yang menolakmu mentah-mentah!"

Alex menggenggam tangan Emma lembut. Mereka berdua sedang menonton sebuah film Netflix di ponsel milik Emma. Sebelah telinga mereka terpasang airpod, namun sebelahnya lagi menangkap jelas semua percakapan yang terjadi di belakang bangku mereka.

Tak lama setelah menyindir Emma, Edward merasa puas lalu mereka keluar kelas. Alex melirik sekilas Edward yang memang jauh lebih tampan darinya.

"Aku ingin menjadi pangerannya, Emma," ucap Alex sedih.

Emma tak tahan untuk menghentikan filmnya. Ia pun mematikan ponselnya dan melepas airpod.

"Tentu saja kau bisa," kata Emma penuh semangat. "Kau bisa menjadi pangerannya kalau kau mau. Ikut saja!"

Alex mengerucutkan bibirnya. "Tapi Edward pasti yang akan terpilih. Kau tahu 'kan dia akan mendapatkan semua yang ia mau selama ayahnya masih menjadi kepala sekolah?"

Emma menggeleng pelan, menepis dengan lembut ucapan Alex. "Jujur saja aku pun ingin sekali menjadi Belle. Kau tahu juga hal itu 'kan? Kita berdua memimpikannya sejak lima tahun. Lalu mengapa kita tidak membuatnya menjadi kenyataan?"

Alex berpikir sejenak. Dia ingat betul Emma seringkali bermain dengan buku-bukunya dan menyanyikan lagu Beauty and The Beast. Mereka berdua sering berdansa ketika kecil dengan lagu nyanyian Ms. Spott sebagai latarnya.

"Ya, Emma! Aku ingat!" Alex mengangguk-angguk cepat.

"Jangan takut untuk bersaing, Alex. Lakukan saja yang terbaik!"

~~~

Beberapa anak kelas sepuluh, sebelas dan dua belas yang umumnya berparas cantik dan percaya diri mulai memadati koridor B, dekat ruang teater. Ada meja di sana, dan pengurus Student Council mulai mendaftar nama-nama yang hadir di sana. Ternyata, Ben baru saja membagikan kertas berisi daftar peran-peran yang akan dimainkan. Beserta grup dancer, orchestra dan paduan suara.

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang