Aku hanya terpaku mendengarnya. Kutatap matanya begitu dalam, mencari kebohongan yang tersirat di sana. Namun, lama ia pun membalas tatapanku. Aku pun tahu, ia memang tidak bercanda.
"Are you serious?" tanyaku, menyipitkan mata tak percaya padanya.
Emma menunduk sesaat dan menatapku lagi. Ia mengangguk.
"Kenapa?" tanyaku.
Ia terlihat bersiap untuk menjelaskan. "Aku harus memenuhi jadwal berobat," katanya.
"Kapan?"
"Hari Rabu dan Jumat," jawabnya. Itu adalah jadwal latihan drama wajib. Tapi tidak dengan latihan tambahan di hari-hari tertentu.
Aku memikirkan cara untuk mempertahankannya di sini. Aku pun berkata, "Bagaimana jika kita merubah jadwal latihannya saja? Hari Senin dan Kamis."
"Aku tidak bisa, Sir. Dokter berkata aku tidak boleh kelelahan," tutur Emma.
Aku menahan diri untuk mengernyit, seperti ada yang janggal. Tapi aku pun berujar, "Kau boleh latihan sehari dalam seminggu. Kapanpun kau siap, kami akan ikut."
Emma menunduk sebentar, terlihat tak enak mendengarnya. "Aku tidak bisa, Sir."
"Memangnya kau sakit apa?" tanyaku sambil terus menatapnya. Ia sesekali menunduk, mungkin agak takut dengan sorot mataku. Tak apa. Aku ingin melihat raut wajahnya selama memberikan penjelasan.
"Bradikardia," jawabnya. Aku memerhatikan ekspresinya yang terlihat sangat berat mengatakan hal itu.
Aku membuang nafas dan sejenak melihat sekitar. Tak ada siapa pun di sini selainku dan Emma.
Aku menoleh padanya lagi yang menunggu keputusanku. Tapi aku belum selesai.
"Kenapa tidak dari dulu? Memangnya kau biasa berobat setiap hari apa?" tanyaku lagi. Jujur saja, aku agak tak percaya. Karena selama ini ia tampak selalu sehat dan bersemangat. Mana mungkin mengidap detak jantung lemah seperti itu. Pasti ia sudah kwalahan sejak dulu. Tapi apa yang kulihat ia bugar dan tidak pernah mengeluhkan apapun.
"Maaf baru mengatakannya sekarang, Mr. Taylor. Selama setahun terakhir jantungku sudah agak membaik. Namun akhir-akhir ini aku harus diawasi dokter dengan pengawasan lebih. Aku baru saja menentukan ulang jadwal bersama dokterku di Howard Heart Clinic dan kami sudah membuat keputusan ini," jelasnya.
"Sejak kapan kau mengidap penyakit itu?" Aku kembali bertanya, untuk memastikan apakah asumsiku bahwa Emma hanya mencari-cari alasan saja itu tepat.
"Sejak lahir," jawabnya.
Ini tidak masuk akal. Mana mungkin ia sakit parah seperti itu namun selama ini tidak pernah kudengar ia izin untuk berobat secara teratur--terutama saat latihan berlangsung. Tapi aku tidak mau berprasangka buruk.
Mungkin ada sesuatu yang lain yang Emma tutupi dariku...
Aku membasahi bibir. "Aku ingin memintamu untuk jujur," kataku. Ia tampak tegang. "Adakah masalah lain yang menyebabkanmu ingin mengundurkan diri?"
Emma menggeleng pelan. "Aku baik-baik saja, Sir."
Aku menutup mata sesaat dan menghela nafas. "Bisakah kau bertahan sampai acara pentas dimulai? Aku tidak keberatan jika kau tidak ikut latihan sampai penampilan berlangsung. Aku percaya kau sudah ahli dalam memerankan tokohmu."
"Aku benar-benar tidak bisa, Sir. Aku tidak enak kepada yang lainnya. Mereka pasti akan berjuang dengan ekstra dan aku tidak mungkin tiba-tiba datang di hari pentas tanpa melakukan apapun sebelumnya," ujarnya.
"Jadi, keputusanmu adalah tetap mengundurkan diri?" Aku bertanya, melihat dengan jelas matanya yang menunjukkan rasa bersalah.
Emma perlahan menganggukkan kepalanya. "Maaf, Mr. Taylor."
Aku menghela nafas gusar. "Jujur saja aku kecewa dengan keputusanmu. Walau aku tidak bisa memaksa jika alasanmu itu benar adanya," tuturku. Ia mendengarkan. "Padahal, kami semua sudah mempercayaimu untuk memerankan Belle--tokoh yang paling diperebutkan di sini. Selama ini aku sudah optimis melihat peluangmu memajukan pentas seni pertama di Effingham--setelah sekian lama. Aku tentu berharap banyak kepadamu. Bukan hanya aku. Ms. Ronan, Mr. William, teman-temanmu. Semua orang percaya padamu bahwa kau akan mensukseskan pentas ini. Dan sekarang kau harus mengundurkan diri."
Emma menunduk, menatap kedua kakinya.
"Kutanya padamu. Memangnya adakah seseorang yang bisa menggantikanmu secepat itu saat kau sudah ikut berlatih sesering ini?" tanyaku.
Emma mendongak dan mengangguk. "Ya, Sir. Aku sudah menemukan penggantiku." Aku mengangkat alis, ia pun melanjutkan, "Katherine."
Aku membuang muka. Katherine. Gadis itu terlalu banyak gaya untuk dijadikan peran Belle si gadis sederhana.
"Aku sudah mengadakan seleksi. Katherine tidak cocok dengan peran Belle dibandingmu," ujarku agak menolak.
"Katherine adalah siswi yang berbakat. Dia sudah pernah memiliki jejak berakting yang lebih berpengalaman dibandingkan denganku. Ia bisa memerankan karakter apapun. Aku tahu, Katherine sangat ingin menjadi Belle di pentas ini. Pasti ia akan maksimal, Sir," jawabnya penuh keyakinan.
Aku membuang nafas. Amat berat bagiku mendengar keputusan ini. Sangat berat. Untuk pertama kalinya, aku kecewa kepada murid yang paling menjadi harapanku sejauh ini.
Aku tidak bermaksud untuk tidak mengerti kondisi fisiknya. Tapi ini semua nampak tidak logis. Selama ini ia selalu terlihat sehat, bahkan cenderung energik dibanding dengan teman-temannya yang terkadang lesu setelah pulang sekolah. Padahal Emma menjawab ia sudah memiliki penyakit itu sejak ia lahir. Inilah yang membuatku kecewa--mengapa tidak mengatakannya sejak dulu?
"Maaf sudah membuatmu kecewa, Mr. Taylor," ucapnya penuh rasa bersalah.
Meski berat, aku pun tidak bisa memaksanya. Aku melirik jasku yang menggantung di lenganku.
"Aku ingin kau menjaminku bahwa Katherine sudah hafal dialog saat latihan minggu depan. Katakan padanya jangan mengundurkan diri jika sudah berada dipentas ini." Aku membuka dan memakai jas ke tubuhku sambil pergi dari hadapan Emma dengan sangat kecewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAUTE VALUER [COMPLETED]
General Fiction🎨WAKE ME UP WHEN I SLEEP 2 🎨 Seorang guru seni lama bernama Mr. Taylor yang baru saja menyelesaikan studi strata duanya kini datang untuk mengajar kembali. Kehadirannya sangat membawa keuntungan bagi sekolah. Salah satunya membuka kembali Klub Tea...