Alex mengusap puncak kepala Emma yang terbenam di pusara seorang wanita bernama Anne Anderson. Alex masih menyentuh dengan lembut batu di belakangnya, dimana Abraham Anderson terbaring di sana. Alex mengusap dengan cepat air mata yang ia keluarkan. Emma menengadah, ternyata matanya hanya merah, tak menangis sama sekali.
Alex yang mengetahui Emma baik-baik saja tidak bisa menahan kerinduannya. Sedari tadi, ia mengira Emma menangis dan ia berasumsi tidak boleh lemah di depan adik perempuannya. Namun kini Alexlah yang menangis dengan menelungkupkan diri ke pusara ibunya.
Kini giliran Emma yang mengusap-usap Alex. Namun, karena agak sulit dijangkau, ia pindah posisi menjadi di sebelah Alex, di antara makam ibu dan ayahnya. Mereka berada di tengah-tengah, dengan angin sepoi-sepoi yang masuk melalui jendela.
"Ayo, luapkan saja. Jangan ditahan," ujar Emma lembut. Alex sesegukan. Dari sela-sela tangisnya, Emma mendengar kata jahat dan lindungi aku. Emma menyandarkan pipinya di punggung Alex. Bangunan khusus makam kedua orang tuanya memiliki jendela yang menunjukkan pemandangan jajaran salib dan nisan di luarnya.
Ya, Mum, Dad... Beberapa orang bertindak jahat kepada kami. Lindungi kami dari tempat kalian berada...
Satu jam lamanya mereka berada di sana, memberi seikat bunga cantik untuk kedua orang tuanya dan saling mencurahkan isi hati dalam diam.
Jam 6.13, mereka harus sudah pergi dari sana. Matahari sudah hampir turun, Alex pun menarik Emma berdiri. Mereka memandangi kedua pusara yang kini cantik oleh bunga yang mereka berikan.
"God bless you, Mum and Dad..." kata Alex. Emma menelan ludah, begitu sakit rasanya jika harus pergi dari sana.
Alex keluar terlebih dahulu, lalu Emma menutup gerbang makam dan menatap pusara orang tuanya dengan perasaan berat hati dan sulit melepas rindu.
Alex menuruni tangga setelah melihat sekilas patung malaikat yang menjaga bangunan makam ayah dan ibunya.
"Aku ingin sekali mereka datang ke mimpiku nanti malam," ucap Alex.
"Sama," jawab Emma singkat. "Aku masih ingat mimpiku saat Mum datang memberiku sebuah flute. Sampai saat ini, aku tetap mencari makna dari mimpi itu."
"Itu sudah lama sekali. Padahal kau tidak suka main flute, ya?" Alex menoleh pada Emma.
"Mimpiku bertemu Mum atau Dad bisa dihitung dengan jari. Aku pun tak yakin apakah itu benar mereka atau pikiranku sendiri yang membawa sugestiku ke dalam mimpi," lanjut Emma, hatinya agak sedih karena jarang melihat sosok kedua orang tuanya melalui alam bawah sadar.
"Kuharap kita bisa bertemu mereka malam ini," kata Alex. Ia sebenarnya sangat sering didatangi oleh Mum dan Dad melalui bunga tidurnya--mungkin lebih sering dari Emma. Namun begitu, Alex pikir itu bisa dijadikan rahasia saja. Karena dengan waktu yang berulang, Mum atau Dad selalu datang dengan berakhir mengatakan, tolong jaga Emma. Itulah mengapa Alex sangat sayang kepada adiknya yang satu itu.
Setelah tenggelam dalam pikiran masing-masing, akhirnya mereka sampai di sebuah rak tempat sepatu roda mereka disimpan di sana. Rak itu berdekatan dengan penjual bunga yang kini sedang pergi entah kemana.
"Sepatu roda kita mana?" tanya Alex saat membuka kunci rak dan tak menemukan benda itu.
Emma menyadari bahwa di sebelah mereka sudah ada Conan, Finn dan kedua temannya yang tidak mereka kenal.
"Penjaga rak itu baik-baik saja, kok. Tenang saja," kata Conan.
Alex berdiri tegak dan menghela nafas jengah. "Itu sepatu kami," kata Alex sambil menunjuk dua pasang sepatu roda yang berada di tangan Finn dan Conan.
Conan mengangkat sepatu berwarna merah muda milik Emma dan terkekeh. "Ini? Seperti gadis polos yang masih meminum teh bersama Barbie."
"Tolong kembalikan itu," ujar Emma, nada suaranya tidak sekeras bila ia sedang berhadapan dengan Conan.
"Nih," sodor Conan dengan menjulurkan tangannya. Emma menghampiri namun Conan dengan gerakan yang sangat cepat membanting sepatu Emma sampai hampir semua rodanya lepas dan sisinya pecah berkeping-keping.
Emma menatap sepatu itu dengan nanar.
"Mum yang menyiapkan ini untukku?"
"Yes! Pakai, ya. Selamat ulang tahun yang ke 12, anak-anak cerdas!"
"Aku tak dapat?"
"Tentu kau dapat, Alex. Ini. Warna biru kesukaanmu!"
"Wah, terima kasih Bibi Agatha!"Emma mendongak dan hendak meraih sepatu milik Alex, namun Finn jauh lebih cepat menghancurkan sepatu itu.
Alex hanya diam menunduk, melihat sepatu itu bisa hancur dengan otot mereka.
Mereka tertawa melihat barang berharga, satu-satunya hadiah ulang tahun terakhir yang orang tua Alex dan Emma berikan. Selain itu, tak ada lagi.
Alex membungkuk. Roda kecil dari sepatunya ditendang pelan dan menggelinding menyentuh tangannya.
"Pungut sampah itu, cengeng!" ejek Conan tak berhati.
Emma selesai membereskan miliknya dan memasukkan sepatu itu ke dalam tasnya. Tak peduli kotor atau bisa merusak buku di dalamnya.
Emma menggendong tasnya lagi dan berdiri. Ia menarik tangan Alex yang kini memeluk sepatunya.
"Alex, ayo," ajak Emma lembut. Alex berdiri dan sekali lagi terpaksa mengusap air matanya yang terlanjur keluar.
"Aku harap Mum tidak marah sepatu ini hancur karena keteledoranku," kata Alex pelan kepada Emma, dan para senior itu bisa mendengarnya.
Conan menatap mereka berdua, senyumnya memudar saat Alex berkata seperti itu. Tangannya mengeluarkan butir kecil keringat. Kepalanya menuntut bahwa ia sudah melakukan hal yang di luar batas.
Emma dan Alex berbalik. Mereka memilih untuk mengalah. Tubuh mereka sudah lelah jika melawan Conan dan kawan-kawannya selarut ini. Emma pun tak mau masalah kecil seperti ini membuat Alex harus terluka lagi.
Saat berjalan beberapa langkah, Emma menoleh ke belakang dan berkata, "Tolong jangan ganggu kami lagi. Jika kami masih punya salah dengan kalian semua, kami minta maaf."
Mereka pun menjauh untuk pulang dengan jalan kaki.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAUTE VALUER [COMPLETED]
General Fiction🎨WAKE ME UP WHEN I SLEEP 2 🎨 Seorang guru seni lama bernama Mr. Taylor yang baru saja menyelesaikan studi strata duanya kini datang untuk mengajar kembali. Kehadirannya sangat membawa keuntungan bagi sekolah. Salah satunya membuka kembali Klub Tea...