Siapa Dia?

23 8 0
                                    

Sejak saat itu, aku lebih sering memerhatikan setiap gerak-gerik Emma. Gadis itu selalu ceria berjalan bersama teman-temannya. Wajahnya berseri-seri seolah tak pernah memiliki rasa sakit di jantungnya.

Kedua ujung bibirku tersenyum ringan saat melihat ia masuk ke dalam kelasku, lalu duduk di bangku favoritnya seperti biasanya. Aku berdiri dari kursiku memulai pelajaran. Hanya saja, aku menahan diri untuk tidak melirik Emma sesering biasanya. Namun sesekali, aku memang menangkap tangannya sedang memeluk dada sebelah kirinya.

Gadis ini memang tidak mengada-ada. Batinku agak bersalah telah tidak mempercayainya.

Sorenya, latihan drama kembali dimulai. Aku berjalan dengan lesu sambil membuka pintu ruang teater. Di sana sudah ada Katherine yang melebarkan matanya senang saat aku datang. Ia begitu gembira memerankan Belle. Semangat Katherine terlihat lebih membara dibanding Emma. Tapi hal itu tetap saja membuatku tidak ikut semangat.

"Kau harus berhenti menatap jutek anak-anak," himbau Ronan. Aku tahu, akhir-akhir ini aku melatih mereka lebih tegas dari biasanya. Kukira, mungkin karena pentas yang akan digelar sebulan lagi. Entahlah. Aku jadi lebih sensitif saat ada kesalahan kecil.

Edward terbata-bata saat membaca dialog bagian akhir.

"CUT!" teriakku. Semua menoleh ke arahku yang berjalan menuju Edward di atas panggung. Katherine agak mengambil langkah mundur saat aku datang, memberi ruang. "Fokus, Ed. Waktumu tinggal sebulan lagi."

"Tapi aku lelah, Mr. Taylor," sahutnya, sangat tidak enak didengar olehku. Padahal, jadwal latihan kami tidak ditambah hari atau adanya penambahan jam. Kami latihan seperti biasa. Edward adalah satu-satunya anak yang mengeluh sejauh ini.

"Lelah untuk apa?" Aku bertanya tegas. Aku ingin tahu alasan apa ia bisa berkata lelah.

Edward menggeleng lalu agak menunduk. Ia tak berani menatapku. "Maaf, Mr. Taylor," gumamnya.

Aku melirik anak-anak di sekitarku. Rata-rata  langsung memalingkan muka saat aku melihat mereka. Aku membuang nafas.

"Aku beri kalian satu menit untuk menghela nafas," ucapku lalu turun dari panggung. Edward tidak berkata apa-apa lagi setelahnya.

Saat aku selesai dari ruang teater, kulihat Emma berdiri mematung di tengah koridor. Tubuhnya membelakangi posisiku berdiri. Tepat saat itu, Alex berjalan menghampiri seorang lelaki beralmamater Effingham University di depannya. Mereka berdua saling berpelukan, seperti sudah lama tidak bertemu.

Aku sengaja berlama-lama menutup pintu ruang teater, agar melihat lebih jelas siapa gerangan lelaki yang terlihat jauh lebih muda daripadaku.

"Emma sini!" seru Alex menyuruh Emma datang dengan menggerakkan tangannya. Emma berjalan perlahan kepada mereka berdua. Aku perlahan berjalan untuk ke ruang guru.

Kusaksikan lelaki dengan postur tubuh tinggi itu ragu-ragu untuk tersenyum. Lalu setelahnya, aku sampai di ruang guru dan masuk untuk mengambil tas.

Karena penasaran aku bertanya kepada Mr. Davis yang sedari tadi mengerjakan sesuatu.

"Mr. Davis," panggilku. Ia mendongak, sejenak melepas jemarinya dari keyboard laptopnya.

"Ya?" sahutnya.

"Apa anak kampus sering datang ke sini?" tanyaku.

"Beberapa dari mereka datang ke sini untuk mengambil beberapa surat atau semacamnya, aku tidak tahu," jawabnya. "Hari ini sudah ada yang datang tiga orang jika tidak salah. Mereka semua alumni."

Alumni? Aku berharap Mr. Davis membahas salah seorang di antaranya.

"Karena aku tadi lihat ada seorang anak kampus di luar sana." Aku mengedikkan kepala ke arah pintu. Mr. Davis mengangguk.

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang