Apresiasi Membentuk Kepercayaan Diri

16 4 0
                                    

‌Kembali ke sekolah, dengan suasana hati yang lebih cerah. Sudah lama Emma tidak merasakan kupu-kupu berterbangan lagi di dalam perutnya. Pagi itu, tak ada satu hal pun yang dapat menghentikan senyumannya yang bersinar. Baru kali ini, ia menaiki scooter begitu cepat, sampai-sampai rambut cokelatnya terlihat melayang melawan angin.

‌"Jangan cepat-cepat!" seru Alex, khawatir Emma terjatuh.

‌"Jangan khawatir!" balas Emma masih terus melaju. Ia memang keras kepala. Dalam artian, ia terus mematahkan kekhawatiran orang lain tentang dirinya. Bila ia masih bisa dan sanggup, kenapa tidak?

‌Alex berhasil menyusul. "Hahaha.... Aku duluan ya!"

‌Emma tak mau kalah. "Heyyy!" Emma menendang scooternya lagi. Kali ini, jauh lebih cepat. Sudah lama energinya terlelap di dalam dirinya. Kini ia begitu meletup-letup semangat. Alex berulang kali menatap Emma dengan penasaran sekaligus gembira.

‌Apa yang sudah dilakukan Tom padanya? Alex fokus kembali ke arah jalan yang sebentar lagi akan memasuki area Effingham High School.

‌Alex tak sadar laju scooternya melambat. Pikirannya melayang kepada Tom dan Emma.

‌Aku senang mereka kembali. Tapi aku belum siap jika Emma harus tersakiti lagi...

‌"Kecapaian?" tanya Emma yang sudah berada di sebelahnya.

‌Alex menggeleng. "Ayo, siapa duluan yang sampai ditraktir cokelat dingin!"

‌"Siapa takut!" seru Emma.

‌"Satu.. dua.. tiga...!"

‌Dua scooter berwarna biru tua dan cokelat melaju begitu cepat. Untungnya, tidak ada banyak murid yang sudah datang. Sehingga, si kembar bisa meluncur sesuka mereka.

‌Mereka sudah memasuki gerbang dan berbelok ke parkiran siswa.

‌"Aku menaang!" seru Alex.

‌Kesombongannya tak bertahan lama, Alex hampir saja terpeleset saat hendak menghentikan scooternya. Emma tertawa terbahak-bahak, begitu bebas seolah ia tak akan pernah tertawa lagi.

‌Mr. Taylor baru saja menutup pintu mobil dan menguncinya. Ia bisa melihat dari kejauhan Alex dan Emma yang sedang melepas helm mereka. Sang guru tidak langsung beranjak dari parkiran itu. Ia menikmati pemandangan tersebut.

‌Emma dan Alex menyingkir dari sana. Mr. Taylor menangkap sebuah peluang. Akhirnya, ia pun bergerak dari tempat parkir menuju gedung sekolah.

‌Usahanya berhasil. Emma dan Alex berjalan dari sisi kanan dan saat di koridor, mereka berpapasan.

‌"Good morning, Mr. Taylor," sapa si kembar hangat.

‌Taylor menoleh—pada Emma. "Pagi juga..." Lalu ia tersenyum begitu manis—dan berjalan mendahului mereka karena harus mengisi kehadiran di ruang guru.

‌Alex tak mengerti. Ia hanya membalas sapaan Emma, padahal ia sudah membentuk ekspresi sebaik mungkin untuk gurunya.

‌Emma menunduk, ia ingin menebak-nebak arti senyuman itu. Tapi, ia tak mau mengatakannya.

‌Alex dan Emma kini berpisah di pertigaan koridor.

‌"Hari terakhir ujian," kata Alex sambil berlalu.

‌Emma mengangguk. "Semoga menjadi akhir yang baik." Ia pun melambai.

                              🌸🌸🌸

‌Di jam pelajaran sastra Prancis, Emma dengan senang hati mengajukan diri untuk menyusul Ms. Florence di ruang guru.

‌"Perlu kutemani?" tanya Gary, disambut cemoohan teman-temannya. Emma hanya menggeleng ramah untuk menjawabnya. Ia pun keluar dari kelas, merasa jauh lebih santai dengan basa-basi seperti itu. Ia sudah lebih terbiasa. Asalkan, jangan siulan ataupun tatapan yang membuatnya risih dengan tubuhnya.

‌Beberapa anak senior Council Student keluar masuk dari ruang guru. Ruangan itu begitu sibuk dengan banyak murid yang mengurus satu dan lain hal di dalam sana.

‌Emma mencari Ms. Florence di ambang pintu. Saat itu juga, Josh pun keluar melewati pintu yang sama. Mendapati Emma di sana, dia merasakan ada impiannya yang tidak terwujud secara mentah-mentah. Josh mengira gadis itu sombong karena tidak membalas suratnya waktu itu. Namun, setelah mengetahui apa yang terjadi padanya, Josh lebih memilih untuk mundur agar Emma tidak diganggu oleh Quinn dan yang lainnya selama-lamanya.

‌Emma sempat berkontak mata dengan Josh. Tapi ia langsung menunduk sopan, membuat Josh tidak berani berprasangka buruk apapun.

‌Emma pun melangkah masuk, senior-senior di sekitarnya memiliki badan yang tinggi dan lebih besar dari Emma mengelilingi meja beberapa guru. Tubuh Emma begitu proposional, dengan rambut terurai panjang sampai pinggang membuat Taylor langsung menyadari kehadirannya di sana.

‌Emma melirik ke sana kemari untuk mencari Ms. Florence. Namun, yang ia dapatkan adalah tatapan Mr. Taylor dari mejanya. Sang guru tersenyum begitu tulus, mau tak mau, Emma harus membalasnya meski ia agak heran mengapa ekspresi Taylor menimbulkan beberapa pertanyaan.

‌Emma pun tak sengaja melihat Ms. Florence yang baru saja menyimpan tasnya di ujung meja. Ternyata, ia terlambat. Emma pun langsung menghampiri Ms. Florence melalui jalur lain, agar dirinya tidak melewati tempat duduk Mr. Taylor. Ia melakukannya untuk meminimalisir pertemuannya dengan Mr. Taylor. Entah kenapa ia melakukannya, yang pasti intuisinya yang mengarahkannya seperti itu.

‌Taylor berasumsi Emma sedang bahagia, namun entah karena apa. Sementara itu, Taylor menunduk, ia merasa sudah melakukan hal-hal yang disarankan oleh Paulina. Walau hanya sebatas mencuri kesempatan untuk tersenyum dan melempar pandangan kepada Emma. Tapi, Taylor merasa lebih baik setelahnya.

Paulina benar, aku harus mulai bertindak.

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang